Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi objek
perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat
yang
mengutuk berbagai macam
penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan
atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat
setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh
gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Gerakan LGBT bermula di
dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay
Liberation Front (GLF) di London tahun 1970
https://en.wikipedia.org/wiki/Gay_Liberation_Front . Di Indonesia, gerakan kampanye
menuntut legalitas LGBT juga marak dan mendapatkan dukungan penting dari akademisi
dan pegiat feminisme. Mereka bergerak
dari ranah politik hingga teologi. Di bidang politik, usaha ini
diwujudkan dengan mengupayakan lolosnya undang-undang yang memberikan celah
bagi pernikahan sesama jenis (
http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-ruu-kkg).
Sementara itu, kampanye di bidang
teologis dilakukan dengan membongkar bangunan keagamaan yang selama ini
menjadikan heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia (
http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2008/06/07/3545/kampanye-lesbi-profesor-akkbb.html).
Selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur
legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Dahulu di dalam DSM (
Diagnostic and Statistic Manual of Mental
Disorder), homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang
termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat
kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus
homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks
http://psc.dss.ucdavis.edu/rainbow/HTML/facts_mental_health.html.
Perubahan
paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang
sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum.
Setelah dideklasifikasi olah APA dari DSM maka LGBT dianggap
sebagai perilaku yang alamiah dan normal.
Setidaknya ada dua ilmuwan yang publikasi ilmiahnya dianggap
memiliki peran cukup signifikan dalam mengubah paradigma terhadap
homoseksualitas sehingga dianggap normal. Mereka adalah Alfred Kinsey dan
Evelyn Hooker. Pada tahun 1948, Kinsey mempublikasikan hasil penelitiannya
bersama beberapa kolega di dalam buku berjudul Sexual Behavior in the Human
Male, selanjutnya pada tahun 1953 terbit Sexual Behavior in the Human Female
http://www.kinseyinstitute.org/research/ak-data.html. Kinsey
menunjukan bahwa seksualitas manusia tidaklah kaku menjadi heteroseksual dan
homoseksual. Seseorang tidak bisa disebut murni homoseksual atau heteroseksual.
Ia memperkenalkan skala yang disebut Kinsey Scale yang menunjukan gradasi
orientasi seksual manusia dengan rasio 0-6 penelitian dari murni homoseksual
bergradasi hingga murni heteroseksual (Alfred Kinsey, et al.
Sexual Behavior In The Human Male,
(Philadelphia: The Saunders Company,1948). Seorang manusia bisa saja pada satu
masa dalam hidupnya adalah homoseksual dan terus berkembang menjadi
heteroseksual atau sebaliknya. Ia menegaskan hal tersebut setelah menunjukan
skalanya penelitian. Di dalam penjelasannya di atas, Kinsey memberikan
pandangan yang sangat revolusioner tentang seksualitas. Selama ini para
peneliti melihat dua kecenderungan tersebut sebagai dua entitas terpisah yang
bisa berada di dalam diri seseorang. Kinsey menunjukan bahwa homoseksualitas
adalah varian normal dari kehidupan seksual seseorang.
Proses deklasifikasi homoseksual yang tidak lagi dianggap
sebagai gangguan kejiwaan, tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa karya
radikal yang dipublikasikan selama kurun 50-an dan 60-an. Karya-karya tersebut
menggugat otoritas psikiatri untuk menentukan seseorang “gila” atau tidak.
Mereka juga menentang perlakuan “penyembuhan” terhadap pasien psikiatri yang
dianggap melanggar hak-hak mereka. Di antara karya semacam ini yang sangat
berpengaruh adalah tulisan filsuf Prancis yang juga seorang gay, yang akhirnya meninggal karena komplikasi HIV AIDS, Michel
Foucault
http://lgbthistorymonth.com/michel-foucault?tab=biography. Pemikiran-pemikiran Foucault di dalam Madness and Civilization
yang terbit tahun 1961
https://libcom.org/files/Michel%20Foucault%20-%20Madness%20and%20Civilization.pdf
berdampak besar dalam
delegitimasi otoritas psikiatri dalam menentukan homoseksual sebagai penyakit.
Karya
Foucault ini menegaskan bahwa
psikiatri adalah upaya untuk meminggirkan mereka yang secara politis tidak
diinginkan. Karya lain yang menyumbangkan basis intelektual bagi gerakan
anti-psikiatri ini adalah tulsian radikal seorang psikolog bernama Thomas S.
Szasz berjudul Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal
Conduct, terbit pertama kali pada tahun 1961
http://psychclassics.yorku.ca/Szasz/myth.htm. Szasz menegaskan bahwa “penyakit
mental” hanyalah mitos, masalah sesungguhnya ada pada cara masyarakat melihat fenomena-fenomena
tersebut.
Namun keputusan APA untuk mendeklasifikasi homoseksualitas
dari DSM sebagai penyakit mental tidak begitu saja diterima oleh semua kalangan
psikolog. Meskipun itu tidak berarti mengakuinya sebagai orientasi yang
betul-betul normal. Banyak ahli yang tidak sependapat.
Ada banyak peneliti yang bebas dari kepentingan pro-gay
mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N. Whitehead adalah seorang
ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat puluh tahun. Dari
hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan
determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya
pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu
direvisi dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan
judul My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence
http://www.mygenes.co.nz/
Bukti
terkuat menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies
http://www.redflagnews.com/headlines/identical-twin-studies-prove-homosexuality-is-not-genetic. Secara sederhana twin studies adalah studi
yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar.
Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya
sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun
demikian, studi yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik
menunjukan bahwa dari sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual,
hanya satu dari sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead,
hasil studi ini tidak hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis
lainnya.
Argumen Whitehead
yang lain adalah menguji hasil temuan Kinsey bahwa 1 dari 10 orang
adalah homoseksual (10%). Whitehead membandingkan temuan Kinsey ini dengan
hasil survey modern, tahun 2010, dan ternyata hasilnya sangat jauh. Survey dari
lembaga independen menunjukan homoseks termasuk biseks hanya 2-3% dari
populasi. Sebagai ahli genetika, Whitehead menyimpulkan bahwa jumlah ini
menunjukan faktor nurture lebih dominan bila dibandingkan dengan faktor nature,
“modern surveys when interpreted show the genetic contribution to SSA is minor
and the environmental contribution is much greater”. Temuan Whitehead ini hanya
mempertegas hasil penelitian Dean Byrd, seorang profesor Psikologi klinis dari
University of Utah School of Medicine. Dalam studinya yang dipublikasikan pada
tahun 2001, Byrd menyimpulkan bahwa “the main studies on whether
homosexuality is caused by biology
appear to lack a significant amount of scientific
support”. Jadi, bisa disimpulkan
bahwa adanya unsur genetika yang membawa “gay gen” pada seseorang tidak
otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Faktor terpenting adalah pola
asuh pada keluarga dan lingkungannya.
Isu perdebatan penting lainnya adalah persoalan perubahan
orientasi seksual seseorang dengan kecenderungan homoseksual. APA telah
mengklaim bahwa tidak ada satupun bukti keberhasilan terapi semacam itu. Bahkan
para ahli yang menyuarakan pendapat berbeda akan mendapatkan tekanan. Salah
satunya adalah Robert L. Spitzer, pada tahun 2003, ia mempublikasikan hasil
penelitiannya yang menunjukan keberhasilan perubahan orientasi seksual dari 200
orang yang menjalani terapi. Sejak saat itu ia mengalami tekanan dari komunitas
gay sehingga mencabut kembali hasil penelitiannya tersebut di dalam sebuah
tulisan singkat. Keputusan Spitzer tersebut dikritik oleh sekelompok psikolog,
Jerry A. Armelli, Elton L. Moose Anne Paulk, dan James E. Phelan. Menurut
mereka keputusan Spitzer untuk menarik hasil penelitiannya hanya karena desakan
seorang gay sangat bermasalah. Apalagi gay yang mendatangi rumahnya tersebut
bukanlah partisipan di dalam studi Spitzer. Mereka menutup tanggapan tersebut
dengan penegasan, “however, one can apologize
for the consequences of a study, but one cannot undo the evidentiary data.
Well-intended sentiments cannot undo facts.”
Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah
klaim APA, tim dari National Association for Research and Therapy of
Homosexuality (NARTH) menunjukan bahwa studi yang dilakukan selama 125 tahun
belakangan menunjukan bahwa orientasi seksual seseorang bisa berubah melalui
berbagai macam pendekatan. Hanya setelah APA mendeklasifikasi homoseksualitas
dari DSM, paradigma terhadap homoseksual pun berubah dari “mengubah orientasi”
menjadi membantu klien menerima keadaan homoseksualitas mereka.
Unsur politis dalam keputusan APA ini telah menghilangkan
kredibilitas psikiatri khususnya mereka yang di bawah naungan APA. Salah satu
tokoh yang menyayangkan hal ini adalah Nicholas Cumming, mantan presiden APA.
Menurut Cummings (mantan presiden APA), ketundukan APA kepada tekanan politis
dalam kasus homoseksualitas ini adalah sebuah bentuk perkembangan yang
destruktif terhadap ilmu psikologi sendiri. Dalam pandangannya, diagnosis
terhadap kaum homoseksual pasca-revolusi seks bersifat politis penelitian. Menurut
Cummings, ketika melakukan deklasifikasi homoseksual dari DSM, APA telah
melanggar Leona Tyler Principle, yaitu pernyataan bahwa psikolog yang tergabung
di dalam APA akan mengambil keputusan bersadarkan temuan saintifik murni dan
tidak menyerah pada tekanan politik dari satu individu atau kelompok. Di dalam
pengambilan keputusan tersebut, menurut Cummings, APA telah tunduk kepada
tuntutan politis aktivis gay. Melihat
keadaan ini, Cummings menggugah komunitas psikologi di Amerika Serikat, untuk
melakukan reformasi di dalam tubuh American Psychological Association (APA)
sehingga mereka bisa kembali independen bebas dari agenda ideologi tertentu.
Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang
perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang paling besar dalam perubahan
orientasi seksual adalah motivasi orang-orang homoseksual tersebut. Motivasi
tersebut akan sangat kuat bila berasal dari dorongan keimanan. Dadang Hawari,
psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia menegaskan bahwa seorang homoseks
bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.[ Dadang Hawari, Pendekatan
Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 2009), hal 62]
Selain itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya
kadar homoseksual, dan libido. Faktor iman,
ternyata menempati posisi yang penting
https://www.islampos.com/prof-dr-dr-dadang-hawari-perilaku-lgbt-akibat-nalar-dan-jiwa-yang-sakit-194451/.
Temuan Spitzer tentang 200 orang
homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari
kalangan religius, “the vast majority (93%) of the participants reported that
religion was “extremely” or “very” important in their lives. “ Hasil temuan
ini sejalan dengan upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti
Dadang Hawari untuk melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan
psikologis.
Pandangan Islam terhadap homoseksualitas selain didasarkan
atas penemuan ilmuwan tentang fenomena ini, harus pula didasarkan atas wahyu.
Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw adalah
petunjuk yang tetap. Dengan demikian, dasar penilaian terhadap homoseksualitas
tidak berubah seiring perkembangan masyarakat, melainkan turut pada keputusan
Allah. Karena itu,, para ulama telah sepakat bahwa homoseksualitas adalah
sesuatu yang terlarang. Kesepakatan tersebut terjadi sebab larangan homoseksual
telah jelas di dalam wahyu, bukan karena pengaruh heteronormativisme seperti
yang diyakini pemikir liberal.
Istilah yang tepat untuk homoseksualitas adalah istilah liwāṭ (اللواط) sedangkan pelakunya disebut lūṭiy (اللوطي), para ulama dari kalangan ahli fikih,
mufassir, ahli hadis dan ahli bahasa telah sepakat dengan penggunaan
terminologi ini. Istilah ini (liwāṭ dan lūṭiy) bukan saja merujuk kepada
tindakan seksual (sexual behavior)
tapi juga merujuk kepada orientasi seksual, yang secara psikologis melibatkan
perasaan cinta dan ketertarikan. Hal ini bisa dilihat dari akar kata “لوط ” yang secara etimologis
mengandung pengertian cinta dan melekat atau cinta yang melekat di hati (al-hub al-lāziq bi al-qalbi)
sebagaimana disebutkan di dalam Lisān al-‘Arab. Meskipun
istilah liwāṭ sesungguhnya diambil dari
nama Nabi Luth, tapi makna kebahasaan yang terkandung di dalam akar katanya
tetap mengikut di dalam kata liwāṭ dalam
kaitannya dengan homoseksualitas.
Salah satu tema sentral dalam problem homoseksual dari segi
teologis adalah bahwa keadaan tersebut—orientasi seksual kepada sesama
jenis—adalah bagian dari kodrat Allah kepada seseorang. Beberapa pemikir
liberal pun menghalalkan homoseksual dengan dalih ini. Tim penulis Fiqih Seksualitas
IHusein Muhammad et al,
Fiqh Seksualitas) http://documents.tips/documents/fiqh-seksualitas.html
misalnya
menyatakan bahwa homoseksualitas adalah takdir, sehingga harus diterima (rida)
oleh yang bersangkutan dan ditolerir oleh masyarakat. Di dalam Islam, konsep
yang memiliki kaitan dengan ini adalah fitrah penciptaan manusia. Sebab term
fitrah digunakan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika lahir di muka bumi
ini. Istilah ini bahkan digunakan di dalam al-Qur’an dalam narasi yang
menggambarkan penciptaan langit, bumi, dan manusia.
Secara etimologi fitrah memiliki beberapa makna. Kata fitrah
adalah serapan dari bahasa Arab فطرة,
sehingga pengertiannya akan dibahas dari sudut pandang bahasa Arab. Kata ini
berasal dari فطر (fa ṭa
ra) yang berarti menguak atau membelah. Sementara para ahli bahasa menambahkan
bahwa fitrah adalah menciptakan sesuatu untuk pertama kali/ tanpa ada bentuk
sebelumnya, fitrah juga bisa diartikan asal kejadian, kesucian, dan agama yang
benar, fitrah juga bisa diartikan keadilan suci. Artinya fitrah merupakan
penciptaan seseorang yang sesuai dengan agama yang benar dan tuntutan akan
hakikat kehidupan yaitu mencari keadilan tentang penyembahan akan Tuhan. Fitrah
merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir. Dari sini disimpulkan bahwa dalam
konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah memiliki kecenderungan untuk
mengikuti kebaikan. Karena itu, konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori
tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai
fitrahnya adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab
tujuan penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya.[ QS.
adz-Dzariyat: 56] Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah
dikaruniai pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial. Penggunaan kata fitrah di dalam surah ar-Rum:
30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui ", menguatkan pengertian ini. Di dalam ayat tersebut, frasa fitratallāhi
disandingkan dengan ad-dīn hanīfah. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir
menegaskan bahwa Allah memang menciptakan (faţara) makhluknya di atas
keislaman. Abu Hurairah mengutip ayat tersebut setelah meriwayatkan hadis pokok
tentang fitrah, ini menunjukan bahwa Abu Hurairah memahami fitrah terkait erat
dengan kebaikan dan secara khusus kepada Islam.
Berdasarkan konsep fitrah ini, maka dalam konteks normalitas
dari perspektif Islam, seorang yang normal adalah seorang yang berada di atas
fitrahnya yaitu cenderung kepada kebaikan. Konsep normal dan abnormal sangat
penting dipahami sebab dari sinilah akan diputuskan, apakah homoseksualitas
merupakan keadaan asal yang normal bagi manusia atau bukan. Normalitas dari
perspektif para ulama disebut sebagai keadaan hati yang sehat (al-qalb
as-salīm). Di dalam karyanya Igāṡah al-Luhfān, Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah
merangkum pendapat para ulama mengenai karakteristik hati yang sehat, yakni
hati yang selamat (salima) dari setiap keinginan (syahwah) yang bertentangan
dengan perintah atau melanggar larangan Allah serta hati yang selamat dari
keragu-raguan (syubhāt) yang bertentangan dengan kabar dari-Nya. Jadi ada dua
penyebab utama hati menjadi sakit yaitu syahwah dan syubhah.
Syahwat di dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi pada
nafsu seksual, tapi dalam pengertian al-Qur’an, syahwat pada dasarnya adalah
anugerah yang diberikan Allah kepada manusia dan harus digunakan pada jalan
kebaikan. Al-Ragib al-Asfahānī di dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān
menjelaskan bahwa syahwat adalah dorongan kuat terhadap jiwa agar meraih yang
diinginkannya. Syahwat memiliki dua bentuk, ada yang baik (syahwah ṣādiqah)
dan ada pula yang buruk (kāżibah). Syahwat yang buruk adalah dorongan jiwa
untuk meraih sesuatu yang dilarang oleh Allah. Homoseksualitas di dalam
al-Qur’an disifati sebagai syahwat yang buruk (fāḥisyah). Perbuatan lain yang
disifati dengan kata fāḥisyah oleh al-Qur’an adalah perzinaan. Karena itu,
beberapa ulama menyamakan antara perbuatan liwāţ kaum homoseks dengan perbuatan
zina. Hubungan dari keduanya adalah sama-sama ekspresi syahwat yang keluar dari
fitrah manusia.
Godaan untuk menyimpang dari fitrah melalui syahwat adalah
bentuk ujian Allah kepada manusia. Manusia tidak diciptakan untuk terus-menerus
suci sepanjang hidup mereka. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa
meskipun telah memiliki fitrah yang innate pada dirinya, manusia tetap memiliki
potensi untuk berbuat salah. Perbuatan tersebut berasal dari kelupaannya
terhadap fitrah dirinya. Manusia disebut al-insān, karena sebab ini. Insān
seakar dengan kata nisyān, yang berarti lupa. Di dalam al-Qur’an sendiri telah
disebutkan bahwa Allah mengilhamkan fujūr dan taqwa ke dalam jiwa manusia
(nafs). Fujūr menurut ar-Rāgib berarti tercabiknya tabir agama (syaqq satri
diyānah). Maka fujūr yang telah diilhamkan Allah kepada jiwa manusia adalah
potensi kerusakan fitrah. Namun demikian, Allah pun telah mengilhamkan taqwa
yang berarti menjaga diri.
Dari perspektif ini, homoseksualitas dipandang sebagai
bagian dari fujūr yang harus dilawan dengan taqwa oleh mereka yang merasakan
kecenderungannya. Telah dipaparkan pada bagian kajian psikologis, bahwa
meskipun ada kemungkinan genetik dalam etiologi homoseksual, faktor lingkungan
tetap yang paling dominan. Fitrah bisa berubah karena faktor lingkungan dan
pola asuh di keluarganya. Meski demikian, ia bisa saja berubah jika memiliki motivasi
yang kuat. Taqwa adalah sumber motivasi tersebut. Manusia harus melawan semua
kecenderungan buruk pada dirinya. Para ulama telah merumuskan upaya beranjaknya
jiwa manusia dari tingkatan pergolakan melawan fujūr hingga menjadi jiwa yang
tenang (an-nafs al-muţmainnah). Rumusan tersebut diderivasi dari pembagian
al-Qur’an atas jiwa manusia menjadi tiga macam penelitian an-nafs al-ammārah bi
as-su’, an-nafs al-lawwāmah, dan an-nafs al-muţmainnah.
Pembagian nafsu menjadi tiga di atas sebenarnya adalah
entitas yang sangat dinamis, manusia senantiasa berusaha beranjak menjadi lebih
baik. Fitrah manusia senantiasa beredar di antara tiga keadaan tersebut.
Keadaan pertama adalah an-nafs al-ammārah bi as-su’, secara literal berarti
jiwa yang selalu mengarahkan diri pada keburukan.
At-Tustari di dalam tafsirnya
http://www.altafsir.com/Books/Tustari.pdf menyebutkan
empat tabiat dari nafsu ini yang membuatnya menjadi tingkatan terendah :
pertama nafsu hewani (bahāim) yang berpusat
pada pemuasan birahi seksual dan nafsu makan, kedua nafsu syaitani (tab’u
asy-syayāţīn) yang mendorong manusia untuk tenggelam dalam perbuatan yang
sia-sia, ketiga nafsu ini akan mendorong orang-orang untuk berbuat licik dan
menipu, keempat, nafsu ini selalu mendorong seseorang untuk berlaku sombong dan
angkuh seperti Iblis (al-abālisah al-istikbār). Orientasi homoseksual jelas
merupakan dorongan dari nafsu ini, khususnya pada tabiat bahāim yang mendorong
seseorang untuk selalu mencari kepuasan seksual. Bila diikuti, maka nafsu ini
akan meminta pemenuhan menjadi tindakan homoseksual.
Apabila tidak ada perlawanan, maka seseorang
berorientasi homoseksual akan melakukan come out, dan menjadi gay. Ia akan
merasa bangga atas maksiat yang dilakukannya. Pada tahap ini, ia telah jatuh di
dalam perangkap keempat yakni menjadi angkuh dengan penyimpangannya dari
fitrah.
Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk melawan
kecenderungan nafsu yang buruk. Meskipun manusia bisa saja jatuh ke dalam
keadaan buruk sebab kealpaannya, Allah telah memberikan mereka potensi berupa
ilmu serta kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemudian
manusia diberikan petunjuk langsung berupa wahyu. Allah memberikan manusia kekuatan
ikhtiyār, yakni kemampuan untuk selalu memilih jalan terbaik. Bahkan manusia
yang telah jatuh ke dalam keburukan akan merasa gelisah atas keadaannya
tersebut. Keadaan gelisah karena penyimpangan ini disebut an-nafs al-lawwāmah. Secara
literal lawwāmah berarti selalu menyalahkan dirinya, menyesali keadaannya.
Seorang yang berada pada keadaan ini selalu menyesali dirinya sembari terus
bersungguh-sungguh melakukan kebaikan. Keadaan ini merupakan langkah besar
pertama dalam perkembangan psiko-spritual seseorang. Dari perspektif lain, Ibn
al-Qayyim menyebut keadaan ini sebagai hati yang sakit (al-qalb al-marīḍ).
Ciri hati sakit adalah padanya ada kecintaan kepada Allah tapi ia senantiasa
dibayangi syahwat yang berusaha memalingkannya dan selalu ia lawan dengan
gelisah.
Dalam keadaan nafs al-lawwāmah seseorang harus terus menerus
mengikuti ilmu dari Allah (wahyu) serta mengikuti akal sehatnya. Al-Attas
menegaskan bahwa manusia di dalam tahapan ini sedang berjuang melawan nafsu
hewani (animal powers). Untuk memenangkan pertarungan tersebut, ia harus memakai
ilmu pengetahuannya, akhlak yang sempurna, serta usaha yang kuat. Muslim yang
mengalami keadaan ini juga perlu senantiasa meminta pertolongan kepada Allah,
Dia akan senantiasa memenuhi permohonannya. Seorang yang memiliki kecenderungan
homoseksualitas di dalam dirinya dan merasa gelisah atas keadaan tersebut
sedang berada di fase ini. Maka ia seharusnya mengikuti tuntunan wahyu untuk
menjauhinya. Kajian psikologi yang telah disebutkan di atas telah menunjukan
bahwa ia bisa berubah bila menguatkan motivasinya. Akal sehat harus didahulukan
di atas keinginan nafsunya. Telah terbukti bahwa kaum homoseksual yang
berkecimpung di dalam kehidupan gay adalah kelompok paling rentan terhadap
penularan penyakit kelamin dan AIDS. Seorang yang memiliki akal sehat akan
menghindarkan dirinya dari kecelakaan
dunia dan akhirat.
Manusia yang berhasil melewati tahapan an-nafs al-lawwāmah
akan memperolah ketenangan batin di sisi Allah. Keadaan ini disebut a-nafs
al-muţmainnah
yang secara literal
berarti jiwa yang tenang. Al-Khāzin di dalam tafsirnya menggambarkan jiwa ini
sebagai jiwa yang menetapi keimanan, ketakwaan, membenarkan dan mengikuti apa
yang diperintahkan oleh Allah. Ia rida terhadap keadaan dirinya sesuai ciptaan
Allah. Bagi seorang yang memiliki kecenderungan homoseksual dan berhasil
mengatasinya, ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah.
Ia rida terhadap cobaan dari Allah berupa kecenderungan menyukai sesama jenis.
Bentuk keridaannya ini bukanlah dengan mengikuti kecenderungan tersebut
sebagaimana yang disebutkan oleh kaum liberal. Keridaan yang sesungguhnya,
sebagaimana ditegaskan al-Khazin, adalah rida mengikuti ketentuan wahyu meskipun
ia harus berusaha melawan kecenderungan buruk dalam dirinya. Allah memastikan
ujian yang diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya. Apabila dirinya sukar
dalam usaha tersebut, ia jatuh kembali di dalam homoseksualitas selama terapi,
maka ia tidak boleh berputus asa. Allah bersedia senantiasa menerima taubat
dari hamba-Nya.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Az Zumar 53).
"Sesungguhnya syetan itu berkata, Demi keagungan-Mu yaa Allah, aku akan senantisa menggoda manusia selama ruh mereka masih bersatu dengan jasad mereka. Allah Tabaraka wa Ta'ala pun menjawab, " Dengan keagungan-Ku pula, Aku akan senantiasa mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku." (HR. Ahmad dan Hakim).