Sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses keadilan hukum
di negeri ini. Masyarakat miskin kerap menjadi korban dari penegakan hukum yang
timpang. Kita sering mendengar anekdot sosial yang berkembang dan menjadi
pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait dengan aparat kepolisian
misalnya : “Jika si miskin melaporkan kasus pencurian ayam ke pihak kepolisian,
maka ia akan kehilangan sapi." Rasa frustasi masyarakat miskin semakin mengental
bila kasusnya sampai masuk pengadilan, alih-alih akan mendapatkan keadilan,
yang didapatkan justeru sebaliknya “hukum seperti pisau yang tajam menekan
kebawah dan selalu tumpul ke atas”.
Dua anekdot ini menggambarkan tipisnya
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini. Lantas kemana
masyarakat miskin mencari keadilan ?”, hanya ada dua kemungkinan jawaban dari
rasa frustasi, kemungkinan pertama akan pasrah “Gusti Allah Mboten Sare”(Tuhan
tidak pernah tidur), kemungkinan kedua akan memberontak di luar jalur hukum. Kemungkinan
kedua inilah yang bisa menjadi bahaya laten, dimana masyarakat yang mayoritas
terhimpit kemiskinan tidak lagi patuh pada hukum, akan menciptakan terror
pemberontakan.
Kasus yang
tengah melanda Nenek Asyani (63) benar-benar menyita perhatian banyak pihak di
Tanah Air. Nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang kayu jati milik PT.
Perhutani yang secara pengelolaan kawasan hutan terletak di petak 43-F, Resor
Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)
Besuki, Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Bondowoso, Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Bondowoso, PT. Perhutani Divisi Regional Jawa Timur. Secara
administratif terletak di Dusun Kristal, Kelurahan Jatibanteng, Kecamatan
Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Nenek Asyani dipaksa harus
menghadapi meja hijau dengan tuduhan pelanggaraan Pasal 12 huruf d juncto Pasal
83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5
tahun. Nenek Asyani merupakan potret masyarakat kecil, miskin dan masih hidup
dalam kondisi sangat sederhana yang seharusnya mendapatkan perlakuan lebih baik
serta mengedepankan rasa kemanusiaan di hadapan hukum.
Pengakuan sang nenek yang tidak pernah melakukan pencurian kayu di lahan milik PT. Perhutani serta rintihan tangisnya memohon ampunan di hadapan majelis hakim sepertinya belum cukup untuk mengeluarkan dirinya dari jeratan hukum yang begitu menyakitkan dan sekaligus sangat menyiksanya itu. Dibandingkan dengan kasus pencurian kayu lainnya di Indonesia yang menimbulkan kerugian lebih besar bagi negara, kasus Nenek Asyani ini tidaklah ada apa-apanya, dan diperkirakan nilai nominal kayu jati yang disangkakan dicuri tidak lebih dari 5 juta ?. (namun melalui dakwaan jaksa, Nenek Asyani dituntut pidana kurungan dan denda 500 juta)
http://www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/15/04/10/nmkwsn15-nenek-asyani-dituntut-satu-tahun-penjara).
Bandingkan dengan kasus Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan kurungan dan denda Rp 50 juta.
http://sp.beritasatu.com/home/nenek-asyani-ditahan-labora-malah-dapat-surat-bebas/81922
Pengakuan sang nenek yang tidak pernah melakukan pencurian kayu di lahan milik PT. Perhutani serta rintihan tangisnya memohon ampunan di hadapan majelis hakim sepertinya belum cukup untuk mengeluarkan dirinya dari jeratan hukum yang begitu menyakitkan dan sekaligus sangat menyiksanya itu. Dibandingkan dengan kasus pencurian kayu lainnya di Indonesia yang menimbulkan kerugian lebih besar bagi negara, kasus Nenek Asyani ini tidaklah ada apa-apanya, dan diperkirakan nilai nominal kayu jati yang disangkakan dicuri tidak lebih dari 5 juta ?. (namun melalui dakwaan jaksa, Nenek Asyani dituntut pidana kurungan dan denda 500 juta)
http://www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/15/04/10/nmkwsn15-nenek-asyani-dituntut-satu-tahun-penjara).
Bandingkan dengan kasus Labora Sitorus (LS)--anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging--Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan kurungan dan denda Rp 50 juta.
http://sp.beritasatu.com/home/nenek-asyani-ditahan-labora-malah-dapat-surat-bebas/81922
Apakah para
penuntut dan penegak hukum kasus Nenek Asyani tidak mampu berfikir dan membaca
situasi berdasarkan aspek sosiologis hukum sehingga bisa mengedepankan
sisi keadilan, kemanusiaan dan maslahat
yang lebih besar. Biar bagaimanapun juga
kasus ini telah sampai di pengadilan, sangat dibutuhkan hakim yang arif dan
bijaksana serta mampu membuat terobosan keputusan hukum yang tidak hanya
berdasarkan situasi formal administratif tetapi juga mengedepankan pertimbangan
sosiologis non formal dengan menjawab pertanyaan siapakah Nenek Asyani ini?
Bagaimanakah kehidupan sehari-harinya? Dan apakah si nenek yang sangat tua dan
lemah itu benar-benar berniat dan kuasa untuk mencuri kayu jati?
Masyarakat
tentu akan bertanya dalam hati nuraninya, dimana diletakkan keadilan bilamana
aparat hukum justeru sebaliknya terkesan gagap dan menciut nyalinya dalam
menghadapi kasus-kasus hukum kelas kakap khususnya illegal logging. Puluhan
trilyun rupiah setiap tahun kerugian yang harus diderita Bangsa dan Negara
Indonesia akibat permainan praktik penebangan kayu liar di hutan Indonesia. Seperti
yang sudah dinyatakan diatas, potensi kerugian dari kasus pencurian kayu Nenek
Asyani yang terkesan “dipaksakan” dalam penegakan hukumnya tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan kasus pencurian kayu lainnya di Indonesia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa telah terjadi 124 kasus kejahatan kehutanan termasuk illegal logging sejak tahun 2001 hingga 2012 yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 691 triliun. Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2003 memprediksi kerugian ekonomi akibat praktik pembalakan liar mencapai Rp. 30-40 Triliun per tahun. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2010 terjadi kerugian negara dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp.15,9 Trilyun per tahun akibat dari tidak ditertibkannya penambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan. Dan sekali lagi “Negara” dibuat tak berdaya dengan adanya kasus-kasus very extra ordinary crime tersebut. Para cukong kelas kakap masih banyak yang berkeliaran dan hukum di Indonesia sangat lesu menegakkan keadilan setegak-tegaknya dalam kasus kejahatan illegal loging. Sebuah ironi yang sangat kasat mata tetapi justru negara dibuat tak berdaya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa telah terjadi 124 kasus kejahatan kehutanan termasuk illegal logging sejak tahun 2001 hingga 2012 yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 691 triliun. Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2003 memprediksi kerugian ekonomi akibat praktik pembalakan liar mencapai Rp. 30-40 Triliun per tahun. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2010 terjadi kerugian negara dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp.15,9 Trilyun per tahun akibat dari tidak ditertibkannya penambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan. Dan sekali lagi “Negara” dibuat tak berdaya dengan adanya kasus-kasus very extra ordinary crime tersebut. Para cukong kelas kakap masih banyak yang berkeliaran dan hukum di Indonesia sangat lesu menegakkan keadilan setegak-tegaknya dalam kasus kejahatan illegal loging. Sebuah ironi yang sangat kasat mata tetapi justru negara dibuat tak berdaya.
Alih alih Negara
menjalankan amanat konstitusi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Jangankan berbicara mengenai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, 11 orang rimba di Provinsi Jambi justeru mati karena kelaparan. Akibat eksploitasi
dan kerusakan hutan yang parah memberi dampak komunitas Orang Rimba di
Jambi semakin kehilangan sumber makanan.
http://sp.beritasatu.com/home/11-orang-rimba-meninggal-karena-kelaparan/80433
Ironis, negara terkesan “banci” dan terpedaya
oleh positivisme hukum yang tunaetik-moral, abai terhadap prinsip-prinsip
manusiawi. Hukum positif negara hadir lebih berwajah dan berdimensi violatif
terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang secara sosial-ekonomi tak berdaya.
Akhirnya, hukum positif negara yang begitu “tajam ke bawah tumpul ke atas”
lebih berwajah penindas daripada “pendidik” dan “pembimbing” yang mengantarkan
maslahat hidup yang lebih bahagia. Hukum sejatinya dilahirkan bukan untuk hukum
semata, melainkan untuk terwujudnya keadilan, kemanusiaan dan kebahagiaan hidup
manusia.http://sp.beritasatu.com/home/11-orang-rimba-meninggal-karena-kelaparan/80433
Hukum yang indah dan manusiawi, kata Thoma Aquinas, adalah hukum yang didasarkan pada kebenaran akal budi. Hukum akan menjadi penindas ketika hukum dibangun atas dasar kesepakatan (elitis penguasa) dan meminjam yang sering kali diungkapkan Soetandyo Wignyosoebroto, lebih menguntungkan kaum elite dan menindas kaum alit. Hukum hanya menindas bagi mereka yang tidak memiliki akses kekuasaan (karena tidak punya untuk membeli kata–sepakatnya).
Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang sangat kaku dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Emile Durkheim menyebut hukum harus selalu erat terhubung dengan norma-norma sosial dan pemahaman moral masyarakat, dan mempunyai fungsi sebagai integrasi sosial.
Saya ajak mengingat ulang keindahan hukum islam yang diterapkan pada zaman pemerintahan Umar Ibn Khattab, dimana Khalifah Umar pernah membatalkan aturan potong tangan bagi pencuri, karena kondisi sosial pada waktu itu dalam masa paceklik dan krisis pangan. Dengan ijtihaad khalifah ini masyarakat secara sosial tidak dikorbankan untuk hukum itu sendiri.
Sociology of Law
Visions of a Scholarly Tradition
Mathieu Deflem
Format PDF 2.08 MB
Pages 360
Tidak ada komentar:
Posting Komentar