Seorang filsof terkemuka Perancis, Albert Camus (1955) menuliskan kalimat pertama dalam buku The Myth of Sisyphus sebagai berikut : The only interesting philosophical question worth asking is suicide.
Bunuh diri menempati salah satu dari sepuluh penyebab
teratas kematian di setiap negara, dan merupakan satu dari tiga penyebab utama
kematian pada kelompok umur 15- 44 tahun, dan nomor dua untuk kelompok 10 – 24
tahun. Laporan World Health Organization (2000)
diperkirakan 1 juta orang melakukan bunuh diri (commit
suicide) pada tahun 2000. Sedangkan percobaan bunuh diri
diperkirakan 20 – 30 kali lipat kejadiannya.
Di Indonesia, pada tahun 2010 WHO melaporkan angka bunuh
diri mencapai 1,6 – 1,8 per 100.000 jiwa. Angka itu bisa jadi masih lebih besar
lagi mengingat fenomena bunuh adalah ibarat gunung es, yang tampak hanya
puncaknya sementara yang tertutup dan ditutupi sesungguhnya lebih besar lagi.
Dengan semakin majunya peradaban manusia melalui berbagai teknologi
ternyata manusia mengalami kerentanan menghadapi diri sendiri maupun lingkungan
yang akhirnya bermuara pada tindakan bunuh diri. Kenyataan ini dibuktikan
dengan peningkatan angka bunuh diri yang meningkat secara signifikan. Perkiraan
WHO memperkirakan pada tahun 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4
per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa di tahun 1998.
Banyak kajian untuk menyingkap fakta fakta mengapa seseorang
melakukan tindakan bunuh diri, salah satunya kajian sosiologi. Emile Durkheim
dalam bukunya Suicide.
Durkheim memperlihatkan analisisnya tentang kekuatan sosial mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim melaksanakan penelitian secara cermat, setelah membandingkan angka bunuh diri pada beberapa Negara di Eropa. Durkheim (1897/1966) menemukan bahwa angka bunuh diri di satu negara berbeda dengan negara lain, dan bahwa dari tahun ke tahun, tiap angka tetap stabil secara mencolok. Sebagai contoh, angka bunuh diri dari kaum Protestan, pria, dan mereka yang tidak menikah lebih tinggi dari pada di kalangan orang katolik, Yahudi, perempuan dan mereka yang sudah menikah. Dari sini. Durkheim menarik kesimpulan mendalam bahwa bunuh diri bukanlah semata-mata pada individu yang memutuskan bunuh diri karena alasan pribadi. Faktor sosial memberi peran melandasi tindakan bunuh diri, dan hal ini membuat angka setiap kelompok cukup konstan dari tahun ke tahun. Durkheim mengindentifikasi integrasi sosial, derajat keterikatan manusia pada kelompok sosialnya, sebagai faktor sosial kunci dalam tindakan bunuh diri. Selain itu Durkheim juga memahami fenomena pada masyarakat industri ; yang mengalami hilangnya batas atau bingkai sosial, krisis nilai serta kepercayaan kolektif sehingga memungkinkan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim memandang bunuh diri sebagai fakta sosial, bukan fakta individu.
Durkheim memperlihatkan analisisnya tentang kekuatan sosial mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim melaksanakan penelitian secara cermat, setelah membandingkan angka bunuh diri pada beberapa Negara di Eropa. Durkheim (1897/1966) menemukan bahwa angka bunuh diri di satu negara berbeda dengan negara lain, dan bahwa dari tahun ke tahun, tiap angka tetap stabil secara mencolok. Sebagai contoh, angka bunuh diri dari kaum Protestan, pria, dan mereka yang tidak menikah lebih tinggi dari pada di kalangan orang katolik, Yahudi, perempuan dan mereka yang sudah menikah. Dari sini. Durkheim menarik kesimpulan mendalam bahwa bunuh diri bukanlah semata-mata pada individu yang memutuskan bunuh diri karena alasan pribadi. Faktor sosial memberi peran melandasi tindakan bunuh diri, dan hal ini membuat angka setiap kelompok cukup konstan dari tahun ke tahun. Durkheim mengindentifikasi integrasi sosial, derajat keterikatan manusia pada kelompok sosialnya, sebagai faktor sosial kunci dalam tindakan bunuh diri. Selain itu Durkheim juga memahami fenomena pada masyarakat industri ; yang mengalami hilangnya batas atau bingkai sosial, krisis nilai serta kepercayaan kolektif sehingga memungkinkan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim memandang bunuh diri sebagai fakta sosial, bukan fakta individu.
Bertolak belakang dengan kajian Durkheim tentang bunuh diri
sebagai suatu gejala social belaka, Albert Camus mencoba melihat hubungan
antara pikiran individual dan bunuh diri. “Tindakan bunuh diri ini berawal dari
keheningan hati, seperti juga awalnya karya besar. Orangnya sendiri tidak
mengetahuinya. Pada suatu malam ia menembak dirinya atau terjun. Mengenai
seseoarang pengelola apartemen yang bunuh diri, saya mendengar anak perempuannya
meninggal lima tahun sebelumnya, dan
sejak itu ia berubah banyak dan peristiwa itu begitu merongrong perasaannya.
Tidak ada peranan masyarakat pada tahap tahap permulaan itu, ulatnya terdapat
dalam hati manusia sendiri. Disitulah kita harus mencari, jarang orang bunuh
diri karena berpikir, meskipun demikian praduga itu tidak dapat dikesampingkan.
Yang mencetuskan krisis batin itu hampir selalu tidak dapat dikendalikan, surat
kabar sering menyebut perihal “kesedihan yang sangat pribadi” atau “penyakit
yang tidak dapat disembuhkan”. Dalam arti tertentu, bunuh diri seperti dalam
melodrama adalah membuat pengakuan. Membunuh diri adalah pengakuan si pelaku
bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tidak mengerti
kehidupan, dan merasa depresi, putus asa seakan akan tiada harapan lagi.
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (QS. Fushshilat : 49).
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. (QS Huud : 9)
Baru-baru ini 3/4/2015 (Kompas hal.15), Kita dikejutkan berita satu keluarga (ayah, ibu dan seorang anak) tewas karena bunuh diri dengan minum racun, dan meninggalkan pesan tulisan tangan, pesan yang ditujukan kepada keluarga, antara lain berbunyi "Kami pamit dengan cara ini. Maafkan kami. Kami sudah sepakat. Mohonkan maaf kepada semua orang. Kami sudah lelah dan tak ada harapan. Tolong rawat dan makamkan di satu liang". Polisi belum memastikan latar belakang tindakan bunuh diri satu keluarga ini, tetapi diduga akibat masalah ekonomi. Sebelumnya suami, isteri ini bekerja sebagai penyalur obat obatan. Setahun lalu suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. (QS. Az Zumar : 53)
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (QS. Fushshilat : 49).
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. (QS Huud : 9)
Baru-baru ini 3/4/2015 (Kompas hal.15), Kita dikejutkan berita satu keluarga (ayah, ibu dan seorang anak) tewas karena bunuh diri dengan minum racun, dan meninggalkan pesan tulisan tangan, pesan yang ditujukan kepada keluarga, antara lain berbunyi "Kami pamit dengan cara ini. Maafkan kami. Kami sudah sepakat. Mohonkan maaf kepada semua orang. Kami sudah lelah dan tak ada harapan. Tolong rawat dan makamkan di satu liang". Polisi belum memastikan latar belakang tindakan bunuh diri satu keluarga ini, tetapi diduga akibat masalah ekonomi. Sebelumnya suami, isteri ini bekerja sebagai penyalur obat obatan. Setahun lalu suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. (QS. Az Zumar : 53)
Apakah fenomena bunuh
diri karena persoalan himpitan ekonomi, apa kata statistik ?
http://news.liputan6.com/read/2101345/kasus-bunuh-diri-tertinggi-ada-di-negeri-ini.
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah merilis data statistik tingkat kasus bunuh diri dunia pada Kamis 4 September 2014. Hasilnya, kasus tertinggi terjadi di Negara Guyana, disusul Korea Utara dan Selatan. Guyana yang terletak di pesisir utara Amerika Selatan memiliki tingkat bunuh diri paling tinggi yaitu 44,2 dari setiap 100.000 orang. "Guyana ada di peringkat pertama, lalu Korea Utara dan Selatan berada di posisi kedua dan ketiga.
Dalam laporan global pertama tentang pencegahan bunuh diri, badan kesehatan PBB mengatakan sekitar 75 persen dari kasus bunuh diri terjadi di negara-negara miskin dengan penghasilan ekonomi rakyat yang rendah. Namun kini tingkat bunuh diri yang tinggi juga terjadi di negara-negara yang lebih maju, yakni Korea Selatan dengan angka 28,9 dari 100 ribu orang. Sedangkan Amerika Serikat bersama dengan Australia, Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya berada dalam tingkat rata-rata 10 sampai 14,9 persen dari 100 ribu orang.
http://news.liputan6.com/read/2101345/kasus-bunuh-diri-tertinggi-ada-di-negeri-ini.
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah merilis data statistik tingkat kasus bunuh diri dunia pada Kamis 4 September 2014. Hasilnya, kasus tertinggi terjadi di Negara Guyana, disusul Korea Utara dan Selatan. Guyana yang terletak di pesisir utara Amerika Selatan memiliki tingkat bunuh diri paling tinggi yaitu 44,2 dari setiap 100.000 orang. "Guyana ada di peringkat pertama, lalu Korea Utara dan Selatan berada di posisi kedua dan ketiga.
Dalam laporan global pertama tentang pencegahan bunuh diri, badan kesehatan PBB mengatakan sekitar 75 persen dari kasus bunuh diri terjadi di negara-negara miskin dengan penghasilan ekonomi rakyat yang rendah. Namun kini tingkat bunuh diri yang tinggi juga terjadi di negara-negara yang lebih maju, yakni Korea Selatan dengan angka 28,9 dari 100 ribu orang. Sedangkan Amerika Serikat bersama dengan Australia, Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya berada dalam tingkat rata-rata 10 sampai 14,9 persen dari 100 ribu orang.
Jadi faktanya tingkat bunuh diri tertinggi ada di negara miskin
dan juga di negara maju, kalau demikian apa persoalannya ?
http://www.academia.edu/4559660/Bunuh_Diri_Pada_Remaja_dan_Anak
http://www.academia.edu/4559660/Bunuh_Diri_Pada_Remaja_dan_Anak
Di Korea menurut data statistik nasional 2010, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian pada usia remaja (Park&Chung,2013). Permasalahan akademik seperti masuk perguruan tinggi, kekerasan di sekolah, kegagalan memenuhi ranking dll merupakan katalisator utama yang menyebabkan remaja bunuh diri. Sebanyak 51% remaja melakukan bunuh diri karena permasalahan akademik.
Selama tahun 2012 di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak menerima 31 kasus bunuh diri pada usia 13-17 tahun, dan 19 orang diantaranya meninggal. Penyebab bunuh diri bisa karena berbagai hal. Di Indonesia dari 31 kasus bunuh diri yang terjadi tahun 2012 diketahui penyebab bunuh diri adalah permasalahan : 13 orang putus cinta, 7 orang karena masalah ekonomi, 8 orang karena ketidakharmonisan keluarga dan 3 kasus masalah akademis.
Dengan demikian banyak faktor pencetus bunuh diri, dan faktanya permasalahan terbesar kasus bunuh diri di Indonesia adalah putus cinta … hmm sebuah kajian yang menarik untuk kasus di Indonesia.
Dengan demikian banyak faktor pencetus bunuh diri, dan faktanya permasalahan terbesar kasus bunuh diri di Indonesia adalah putus cinta … hmm sebuah kajian yang menarik untuk kasus di Indonesia.
Pondok Pesantren Al Qodir Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri LKPBD Kunang2
Komunitas Facebook Stop dan Cegah Bunuh Diri
Suicidology Online
Referensi ebook untuk kajian bunuh diri :
R. F. W. Diekstra
International Association for Suicide Prevention
Suicide prevention_ a holistic approach
Springer (1998)
PDF 2.44 MB
254 halaman
Komunitas Facebook Stop dan Cegah Bunuh Diri
Suicidology Online
Referensi ebook untuk kajian bunuh diri :
R. F. W. Diekstra
International Association for Suicide Prevention
Suicide prevention_ a holistic approach
Springer (1998)
PDF 2.44 MB
254 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar