Split Personality (Dissociative Identity Disorder DID)




Split personality, berarti kepribadian yang terbelah atau  sebutan terkini  gangguan identitas disosiatif (gangguan kepribadian majemuk/ Dissociative Identity Disorder  DID). Kondisi ini ditandai oleh ketidakmampuan penderita dalam mengintegrasikan dirinya. Pribadi penderita  terbelah menjadi dua sosok atau bisa lebih yang boleh jadi bertolak belakang.
Fenomena split personality pernah diisyaratkan  oleh Rasulullah Muhammad SAW, ketika beliau berdiskusi dengan para sahabatnya. Rasulullah Muhammad SAW menyatakan, bahwa akan ada suatu masa (fenomena) di mana seseorang pada malam harinya adalah orang yang baik, namun pada siang harinya ia adalah orang yang buruk. Sebaliknya ada pula, seseorang yang pada malam harinya adalah orang yang buruk, namun pada siang harinya ia adalah orang yang baik.
Pemecahan kepribadian atau sering juga disebut kepribadian ganda, atau juga lebih terkenal dengan nama alter ego. Merupakan suatu keadaan di mana kepribadian individu terpecah sehingga muncul kepribadian yang lain. Kepribadian itu biasanya merupakan ekspresi dari kepribadian utama yang muncul karena pribadi utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada satu orang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi sekaligus.
Kadang si penderita tidak tahu bahwa ia memiliki kepribadian ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang sifatnya.
Salah satu kasus paling terkenal dalam hal kepribadian ganda adalah kasus yang dialami oleh Shirley Ardell Mason. Untuk menyembunyikan identitasnya, Cornelia Wilbur, sang psikolog yang menanganinya dan menulis buku mengenainya, menggunakan nama samaran Sybil Isabel Dorsett untuk menyebut Shirley.
Dalam sesi terapi yang dilakukan oleh Cornelia Wilbur, terungkap kalau Sybil memiliki 16 kepribadian yang berbeda, diantaranya adalah Clara, Helen, Marcia, Vanessa, Ruthi, Mike (Pria), Sid (Pria) dan lain-lain. Menurut Wilbur, 16 identitas yang muncul pada diri Sybil berasal dari trauma masa kecil akibat sering mengalami penyiksaan oleh ibunya. Kisah Sybil menjadi terkenal karena pada masa itu kelainan ini masih belum dipahami sepenuhnya. Bukunya menjadi best seller pada tahun 1973 dan sebuah film dibuat mengenainya. 

Penyebab Kepribadian Ganda

Trauma Tragis
Kepribadian ganda bisa terbentuk dari rasa traumatik masa kecil yang biasanya terjadi antara umur 4-6 tahun. Penderita menghibur diri sendiri dari sesuatu yang menyakitkan dengan menciptakan kepribadian lain buat menampung semua perasaannya. Ketika kita dewasa, kita memiliki karakter dan kepribadian yang cukup kuat dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Namun, pada anak yang masih berusia di bawah tujuh tahun, kekuatan itu belum muncul sehingga mereka akan mencari cara lain untuk bertahan terhadap sebuah pengalaman traumatis, yaitu dengan Disosiasi. Dengan menggunakan cara ini, seorang anak dapat membuat pikiran sadarnya terlepas dari pengalaman mengerikan yang menimpanya seperti kekerasan dan pelecehan seksual.

Lingkungan
Lingkungan tempat dia dibesarkan yang membingungkan sehingga menimbulkan stress yang cukup ekstrim dan tekanan batin berkepanjangan.

Depresi
Depresi terus menerus tanpa tahu sebab akibatnya hingga mencipkan karakter lain untuk bisa lari dari diri sendiri dan menjadi "orang lain" yang lebih kuat dan tegar atau malah karakter yang mendorongnya untuk bunuh diri.

Keadaan Keluarga
Keadaan keluarga seperti sifat Ayah dan Ibu yang 180° bertolak belakang dan kedua sifat tersebut turun bersamaan dalam diri anaknya sehingga perlahan tapi pasti akan sering membuat bingung teman-temannya kelak.

Hasil Imajinasi
Hasil imajinasi dunia mimpinya yang semakin menjadi-jadi sehingga "out of control" dari Kepribadian Utamanya.

Dr. Wilbur seorang psikiater wanita yang merawat  Sybil selama 11 th yaitu mulai tahun 1954 – 1965, menjelaskan bahwa pada beberapa pasien yang di rawatnya, perpecahan kepribadian merupakan gejala histeria yang timbul sebagai reaksi terhadap lingkungan keluarga yang picik, serba tidak membolehkan, ada unsur kekerasan, tidak memberi kesempatan untuk mencari jalan keluar dari setiap persoalan.

Sebagian besar penderita kepribadian ganda pernah mengalami trauma masa kecil dan sebagian bisa di sembuhkan walaupun butuh waktu yang lama. Pada kasus Sybil, dia mengalami perpecahan kepribadian semenjak usia 2.5 Tahun. Profil orang tua yang tidak memberikan kasih sayang dan perhatian, memberikan rasa tidak nyaman, serba tidak membolehkan, keras, tidak memahami sang anak, dan terutama terjadi pada anak yang introvert. Orang tua yang tidak peduli pada saat sang anak mengalami stress, shock dan depresi sehingga dengan sendirinya pribadi itu akan terpecah.

Pada kasus  Sybil yang ditanganinya  diceritakan bahwa Sybil adalah seorang gadis (berusia 37 tahun-an) yang mengalami perpecahan kepribadian sejak kecil. Setelah seringkali mengalami black out alias benar benar lupa atas kejadian yang telah dialami, setelah analisa mendalam diketahui bahwa di dalam tubuh Sybil terdapat 16 “orang” yang lain yang sering “mengambil alih” tubuh Sybil sehingga Sybil mengalami black out. Mereka adalah: Clara, Helen, Marcia, Marjorie, Mary, Mike (laki-laki), Nancy Lou Ann Baldwin, Peggy Ann Baldwin, Peggy Lou Baldwin, Ruthie, Sid (laki-laki), Sybil Ann, Sybil Isabel Dorsett, Vanessa Gaile, Victoria Antoniette Shcarleu (Vicky) dan pribadi terakhir yang tak diketahui namanya.
Semua pribadiyang sama sekali tidak diketahui sybil, seolah-olah merupakan orang lain yang memakai raga sybil dan mereka ‘mengenal’ sybil dengan baik. Personal-personal itu juga memiliki usia yang berbeda-beda, hobi berbeda, Bahkan tingkat keyakinan terhadap agama yang berbeda. Pada saat diskusi dengan Dr. Wilbur, personal-personal itu sering muncul dan menyebabkan sybil bertanya kepada dokter, “apa yang telah saya lakukan?”. Personal-personal itu, dalam dialog dengan Dr Wilbur juga sering merasa kasihan kepada Sybil , yang tidak bisa marah, ceria dan bahkan menangis saat ia seharusnya melakukan sehingga mereka sesekali merasa perlu muncul ke permukaan menggantikan peran Sybil. Masing-masing personal itu benar-benar “menggantikan” peran sybil, sampai kepada hafalan perkalian, kemampuan menyanyi,seni menggambar dlsb sehingga membuat orang-orang disekitarnya merasa heran kenapa Sybil yang kemarin begitu hafal perkalian, ceria, tenang dan cerdas dan tanpa sebab mendadak melupakan semuanya dan menjadi seorang pemurung atau seseorang yang pemarah atau bahkan kekanak-kanakan .
Setelah Sybil ,yang kehadirannya diwakili oleh personal yang lain, menjalani psikoanalisa oleh Dr Wilbur, ditemukanlah trigger-trigger mengapa kepribadiannya pecah. Sybil mendapat siksaan yang luar biasa dari sang ibu , yang mengidap schizoprenia, sejak kecil tanpa pencegahan dari sang ayah sedikitpun. Hal itu, secara tidak langsung membuat sybil tidak mampu mengungkapkan kemarahan, kesedihan dan emosinya. Selain itu, nilai-nilai yang dianut secara ketat oleh orangtua sybil, namun kadang dinafikkan secara vulgar dihadapan sybil juga menjadi salah satu pemicu munculnya personal-personal lain dalam dirinya, personal-personal yang tidak terima akan penerimaan sybil terhadap lingkungan yang menekan dan mengabaikan dirinya.
Akhirnya setelah 11 tahun melakukan psikoanalisa, Dr. Wilbur berusaha menyamakan usia seluruh personal melalui hipnotis dan berusaha meyakinkan sybil untuk memenuhi keinginan-keinginan masing-masing personal. Seperti kenyataan bahwa sybil sangat membenci ibunya yang telah menyiksanya, yang dinafikkan oleh Sybil karena norma mengatakan bahwa seorang anak tidak boleh membenci ibunya. Dan Sybil yang sebelumnya tidak bisa marah, tidak bisa menangis pun akhirnya bisa mengungkapkan emosi-emosinya. Hal ini pun berhasil membuat personal-personal lain untuk menerima kondisi sybil, seperti Vicky yang sebelumnya selalu berharap ibunya akan datang menjemputnya dari Paris, akhirnya mengakui bahwa Hattie Dorsett / Ibu Sybil adalah ibunya juga. Perlahan-lahan, trauma-trauma lain dibuka dan pada akhirnya Sybil pun berhasil mengungkapkan emosinya dan berhasil menolak penekanan-penekanan terhadap dirinya. Dan seiring waktu berlalu, semakin banyak personal yang menyatukan diri sebagai Sybil sehingga Sybil pun menjadi Sybil yang satu.

Menurut Teori Psikoanalisa oleh Sigmund Freud, trauma pada masa kanak-kanak adalah kejadian paling berpeluang mengakibatkan gangguan kepribadian seseorang.Pada masa kanak-kanak itulah kepribadian mulai berkembang dan terbentuk. Saat terjadi pengalaman buruk, pengalaman-pengalaman tersebut sebisa mungkin akan di tekan (repress) ke dalam alam bawah sadar. Namun ada beberapa kejadian yang benar-benar tidak bisa ditangani oleh penderita, sehingga memaksanya untuk menciptakan sosok pribadi lainnya yang mampu menghadapi situasi itu. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan diri, suatu sistem yang terbentuk saat seseorang tidak bisa menghadapi sebuah kecemasan yang luar biasa. Kepribadian-kepribadian baru akan terus muncul apabila terjadi lagi suatu peristiwa yang tidak bisa teratasi. Munculnya kepribadian-kepribadian itu tergantung pada situasi yang dihadapi. Kepribadian aslinya cenderung tidak mengetahui keberadaan kepribadian lainnya, karena memang hal itu yang diinginkan, yaitu melupakan hal-hal yang telah diambil alih oleh kepribadian lainnya.

Kasus lainnya yang terkenal adalah William Stanley Milligan atau Billy Milligan, orang pertama dalam sejarah Amerika yang dianggap tidak bersalah atas berbagai tindak kejahatan serius dengan alasan tidak waras. Billy Milligan menderita pemecahan kepribadian sehingga dia memiliki 24 kepribadian yang berbeda satu dengan yang lain. Billy Milligan pertama kali memunculkan alter egonya pada saat ia berusia 3 tahun, Christine, seorang gadis kecil yang menderita disleksia.

Adapun beberapa alter ego yang ternyata beberapa justeru menyelamatkan nyawanya, pada saat Billy memasuki usia 16 tahun, ia mencoba bunuh diri, tetapi alterego yang bernama ragen (rage again) menghentikan tubuhnya, serta menghindarkan Billy dari percobaan bunuh dirinya.

Jumlah alter ego Billy ada 24, 10 dari mereka adalah "mereka yang diinginkan", dan sisanya adalah "yang tidak diinginkan", fusi dari semua aler ego tersebut akan memunculkan satu kepribadian, sang guru.

Bagaimana Billy Milligan bisa memiliki alter ego, semua itu dia munculkan karena pelecehan seksual oleh ayah tirinya, serta perjuangan seorang William Stanley Milligan untuk bisa meraih kebebasannya, salah satu alter ego dari Billy merupakan seorang wanita yang memiliki penyimpangan seksual, Adalana, yang memperkosa 3 gadis muda dari 3 tempat yang berbeda.
Pada akhir 1970-an, Billy ditangkap polisi, Ternyata, para pengacaranya melihat tanda-tanda DID. Setelah meminta visum dokter, Billy dirawat di RS jiwa milik pemerintah Athenus Lunatic Asylum. Di RS itu ia didiagnosis dengan 24 kepribadian, dan dirawat lebih lanjut. Ia harus menjalani terapi selama 10 tahun sebelum bisa berfungsi sebagai manusia normal. Sekarang Billy tinggal di California, mempunyai production house, membuat film tentang dirinya sendiri dan menerbitkan buku yang menceritakan otobiografinya.

Untuk memahami lebih lanjut referensi ebook untuk anda :

Understanding and Treating Dissociative Identity Disorder
Elizabeth F. Howel
Pesan di sini !
Attachment Trauma and Multiplicity
Working with Dissociative Identity Disorder
Valerie Sinason
Pesan di sini !

Living with the Reality of Dissociative Identity Disorder
Lady Xena Bowlby, Deborah Briggs
Pesan di sini !
Dissociative Identity Disorder
Medical Dictionary Bibliography and Annotated Research Guide
Pesan di sini !

Bagaimana sosiologi menjelaskan fenomena LGBT ?



Perilaku menyimpang atau bisa disebut penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang moral kemanusiaan ataupun agama secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Berikut dikutip beberapa definisi para ahli mengenai perilaku menyimpang :
Bruce J. Cohen
Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
Gillin
Perilaku menyimpang adalah perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai sosial keluarga dan masyarakat yang menjadi penyebab memudarnya ikatan atau solidaritas kelompok.
Lewis Coser
Mengemukakan bahwa perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
James Vander Zenden
Penyimpangan sosial adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi.
Paul B. Horton
Mengutarakan bahwa penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat
Robert M.Z. Lawang
Penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang itu.

Dalam pandangan Islam perilaku yang lurus (tidak menyimpang) dikenal dengan nama Fitrah dan ini merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir. Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah memiliki kecenderungan untuk mengikuti kebaikan. Karena itu, konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya QS. adz-Dzariyat: 56. Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial.  Penggunaan kata fitrah di dalam surah Ar-Rum: 30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui "

Bagaimana sosiologi  menjelaskan perilaku seksual menyimpang  ?

Menurut Kartini dalam penelitian Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual  1989:248) sebab-sebab perilaku homoseksual, antara lain:
1. Faktor dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks di dalam tubuh seseorang.
2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.
3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual karena pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.
4.  Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita.

Dalam memahami perilaku individu, sosiologi memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang individu terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap individu itu sendiri. Lingkungan merupakan tempat perilaku seorang individu dikembangkan, namun perilaku individu itu sendiri juga mempengaruhi lingkungan tempat si individu itu berada.
Sosiologi melihat sosialisasi yang muncul pada masa lalu seorang  gay ataupun lesbian bisa menjadi faktor pembentuk perilaku menyimpang  individu tersebut, hal inilah yang mempengaruhi perubahan orientasi seksualnya menjadi homoseksual.
Dalam sebuah kesimpulan penelitian Gesti Lestari “FenomenaHomoseksual di Kota Yogyakarta 2012” menuliskan proses awal menjadi homoseksual :
Kecenderungan menyukai sesama jenis bisa terjadi pada siapa saja dengan kecenderungan dan waktu yang berbeda beda. Secara umum, hal pertama yang dirasakan adalah kegalauan. Homoseksual atau ‘binaan’ ini akan merasa bimbang dengan kecenderungannya ini.  Kemudian kebanyakan dari mereka berusaha mencari jati dirinya dengan mencari teman yang sudah lebih dulu menjadi seorang ‘binaan’. Untuk mendapatkan teman banyak dilakukan di dunia maya atau sekedar jalan ke tempat tempat umum seperti mall. Saling bertukar cerita dan pengalaman, sehingga hubungan antar homoseks atau gay akan lebih erat.

Seseorang menjadi homoseksual karena pengaruh orang-orang sekitarnya, seperti faktor keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung. Sikap-tindaknya yang kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya. Selain itu, homoseksual juga dapat disebabkan sering mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga mereka melampiaskan kekecewaan itu dengan menjalin hubungan dengan sesama jenisnya.
Lingkungan dapat memengaruhi perkembangan seseorang untuk menjadi homoseksual. Menurut Kartono (1989:248), penjara dan asrama-asrama putra, tempat para pemuda dan kaum pria berdiam terpisah dengan kaum wanita, banyak menghasilkan peristiwa homoseksual. Studi mengenai hal ini juga telah banyak dilakukan diantaranya : https://www.academia.edu/13855963/Implikasi_Globalisasi_Seksualitas_Terhadap_Kebudayaan_Lokal_Madura_Studi_Tentang_Perilaku_Homoseksual_di_Pondok_Pesantren

Dalam konsep fungsionalisme struktural yang dijelaskan oleh Tallcot Parsons, masyarakat dilihat sebagai sebuah hal yang terdiri dari sistem maupun unsur dalam sistem (sub-sistem) yang akan menentukan bagaimana kehidupan sosial dalam suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik. Menurut teori fungsionalisme struktural, maka ketika salah satu sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya dapat menyebabkan terciptanya penyimpangan dalam diri seorang individu yang terkait dengan sistem maupun sub-sistem tersebut. Perilaku menyimpang seksual yang muncul dalam diri seorang  gay/lesbian diakibatkan oleh sosialisasi dari sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat yang berjalan tidak semestinya. Beberapa unsur masyarakat yang dapat dikatakan sebagai sistem yang membentuk masyarakat antara lain adalah lingkungan keluarga dan pergaulan.
Dalam sudut pandang sosiologi, penyimpangan dimungkinkan terjadi karena seseorang menerapkan peranan sosial yang menunjukan perilaku menyimpang. Bagaimana seseorang dapat memainkan peran sosial yang menyimpang sangat terkait dengan sosialisasi yang ia dapat dalam sistem masyarakat tempat ia berada. Seperti telah dijelaskan diatas, keluarga dan lingkungan pergaulan akan sangat mempengaruhi pembentukan peranan sosial seorang individu, hal ini dikarenakan keluarga dan lingkungan pergaulan merupakan salah satu sistem penopang masyarakat dimana seorang individu memiliki intensitas interaksi yang tinggi terhadapnya. Dalam konteksnya sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial seorang homoseksual pada awalnya memperoleh sosialisasi untuk menjadi homoseksual dari lingkungan dan keluarganya.
Pada proses perkembangan anak remaja yang normal, biseksualitas remaja akan berkembang menjadi heteroseksual. Sebaliknya, apabila proses tersebut menjadi abnormal yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor eksogen atau endogen tertentu, maka biseksualitas tersebut akan berkembang menjadi homoseksualitas. Oleh karena itu, yang menjadi objek erotiknya adalah benar-benar seorang dengan jenis kelamin yang sama (Kartono, 1989:249).
Ayah mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan peran seksual anak. Jika peran ayah kecil atau tidak berperan sama sekali dalam perkembangan anak, terutama dalam hal pola asuh, maka akan muncul kesimpangsiuran peran jenis kelamin anak (Dagun, 1990:104-105) [Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga: Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta: Rhineka Cipta].
Mavis Hetherington (melalui Dagun, 1990:105) mengatakan, anak laki-laki yang ditinggalkan ayahnya sejak dini berperilaku tidak maskulin. Selain itu anak menjadi kurang mandiri, ketergantungan, kurang tegas, dan tidak menyukai permainan yang melibatkan fisik. Keadaan tersebut bagi anak laki-laki akan mengakibatkan kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki.
Menurut Adelsa (2009)  [Adelsa, Veronica. 2009. Definisi dan Proses Homoseksual], faktor lingkungan keluarga yang dapat memengaruhi terbentuknya homoseksual, yaitu: (1) pola asuh, dan (2) figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis.
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat pada orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat pada ibunya, dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama dengannya.
Sosialisasi yang dapat mendorong seseorang melakukan tindakan maupun perilaku menyimpang pada umumnya berasal dari lingkungan terdekatnya seperti keluarga dan lingkungan pergaulannya. Terkait dengan masalah gay, umumnya sosialisasi yang didapat seorang gay dalam keluarga terjadi jika ia memiliki ibu yang bersifat selalu membelanya atau terlalu memanjakan, sedangkan ia memiliki ayah yang bersikap apatis (terlalu otoriter) dan menganggap anaknya itu sebagai rival. Hal ini akan mendorong seorang individu untuk cenderung memendam sikap maskulinnya. Sehingga terbentuk sikap pemalu, pendiam, lemah dan penyendiri dan berujung kepada penyimpangan orientasi seksual.
Sosialisasi yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya akan menjelaskan mengapa seseorang menjadi homoseksual, hal ini karena mereka terbiasa dengan lingkungan atau pergaulannya yang mendukung dirinya untuk menjadi seorang homoseksual. Contohnya adalah orang normal yang telalu sering bergaul dengan komunitas homoseksual, sehingga dirinya terbawa dengan kebiasaan dan gaya hidup mereka.
Sebagai penutup saya ingin menshare postingan curhat yang diunggah melalui facebook bahwa perilaku penyimpangan seksual ini mempunyai  efek domino, berdampak kerusakan  besar bagi kesehatan masyarakat secara sosial.
----
Saya (perempuan) punya seorang teman baik saat kuliah (laki-laki) hingga awal kerja dulu. Cerdas, salah satu peraih Ganesha Prize di angkatannya. Olahragawan. Charming. Sanguine, hampir semua orang di sekelilingnya berpikir dia menyenangkan. Singkat cerita, semua tampak baik-baik saja.
Hingga satu hari, di hari ulangtahunnya, dia bercerita: bahwa dia gay.
Sambil menangis dia menceritakan bagaimana ini bermula. Saat SMA ia baru ditinggal wafat ayahnya, ia terpukul. Ibunya sibuk bekerja. Sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktu di sekolahan hingga hari gelap.
Nangkring sendirian. Lalu pulang ke rumah, mendengarkan radio anak muda Bandung. Kebetulan --- satu malam dia mendengarkan acara semacam *bandung-underground* yang sedang membahas komunitas gay. Iseng dia menyimak. Geli. Lalu mencatat alamat website komunitas ini. Hanya ingin tahu, pikirnya. Fasilitas internet rumahan, sesuatu yang masih jarang di zamannya, sudah dia miliki. Malam itu juga ia berselancar ke website tersebut. Dasar anak kecil. Dia memperkenalkan diri sebagai anak normal yang berkunjung dan hanya-ingin-tahu. Beberapa orang menyapanya hangat. Menanyakan aktivitas hariannya. Dan dia jawab. Lalu Internet dia matikan. Tidur.
Beberapa hari kemudian, saat sedang duduk sendirian (lagi) di sekolahan, tiba-tiba seorang kakak mahasiswa mendekati. Berkenalan. Terus hingga beberapa waktu. Rutin ditemani untuk sekadar bertanya ini itu. Ada ruang kosong yang ditinggalkan ayahnya, kini terisi. Kehadiran seorang kakak. Dia merasa punya semangat hidup lagi. Beberapa kali pula mereka makan bareng d BIP, hingga pada satu hari, sehabis makan bersama ia terbangun di kost-an. Tanpa busana. Dan si kakak mahasiswa ada duduk di sana.
Dia menangis. Dan si kakak biadab itu menenangkannya. Ternyata si kakak menandainya sejak ia berkunjung ke website komunitas mereka. Apakah saat itu ia marah? Tidak, ia tidak bisa marah katanya, ada ruang kosong yang terisi. Lalu kenapa ia menangis? Karena nuraninya berteriak, ini tidak benar.
Sekolahnya lulus, masuk tempat kuliah yang sama dengan si kakak biadab. Dan meski ia beberapa kali berniat menjauh, jasadnya berubah orientasi. Dia panas dingin setiap bertemu. Sekadar tatap muka pun menjadi hal yang candu baginya. Baik dengan si kakak, maupun dengan pria lain sejenisnya.
Hari itu dia menutup ceritanya dengan: aku ingin sembuh. Ibunya tidak tahu hal ini. Dan ia tersiksa. Kalau perempuan sudah pasti saya peluk. Kasihan. Minta diperkenalkan dengan teman wanita untuk menikah. Sesuatu yang saat itu tidak bisa saya penuhi. Yah gimana, saat melihat perempuan, dia akan menatap laki-laki disampingnya. Menatap lho. Lalu ia menambahkan juga bahwa ia menyukai tipe-tipe seperti kakakku (seorang laki-laki), yang seringkali berkunjung ke kostan. Pengertian, hangat, katanya.
---
Semoga kita semua sebagai masyarakat sosial yang sehat, dapat menjaga kesehatan masyarakat ini dengan sekuat-kuatnya. Dan bagi mereka yang mengalami penyimpangan secara seksual segeralah berusaha untuk sembuh dengan kemauan kuat dan mintalah pada-Nya untuk mengembalikan dirinya tunduk pada fitrah Allah SWT, berhentilah memperturutkan tarikan syahwat yang merusak diri sendiri dan orang lain. Bertobatlah dan stop propaganda bahwa kalian normal dan menuntut legalisasi pernikahan sesama jenis, sebab itu menipu diri sendiri dan makar dalam kehidupan masyarakat normal.

FENOMENA LGBT : Kajian Psikologis dan Teologis



Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi objek perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat yang  mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat  setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970  https://en.wikipedia.org/wiki/Gay_Liberation_Front . Di Indonesia, gerakan kampanye menuntut legalitas LGBT juga marak dan mendapatkan dukungan penting dari akademisi dan pegiat feminisme. Mereka bergerak  dari ranah politik hingga teologi. Di bidang politik, usaha ini diwujudkan dengan mengupayakan lolosnya undang-undang yang memberikan celah bagi pernikahan sesama jenis (http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-ruu-kkg).  Sementara itu, kampanye di bidang teologis dilakukan dengan membongkar bangunan keagamaan yang selama ini menjadikan heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia (http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2008/06/07/3545/kampanye-lesbi-profesor-akkbb.html).
 
Selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder), homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks http://psc.dss.ucdavis.edu/rainbow/HTML/facts_mental_health.html.
Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi olah APA dari DSM  maka  LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal.
Setidaknya ada dua ilmuwan yang publikasi ilmiahnya dianggap memiliki peran cukup signifikan dalam mengubah paradigma terhadap homoseksualitas sehingga dianggap normal. Mereka adalah Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker. Pada tahun 1948, Kinsey mempublikasikan hasil penelitiannya bersama beberapa kolega di dalam buku berjudul Sexual Behavior in the Human Male, selanjutnya pada tahun 1953 terbit Sexual Behavior in the Human Female http://www.kinseyinstitute.org/research/ak-data.html. Kinsey menunjukan bahwa seksualitas manusia tidaklah kaku menjadi heteroseksual dan homoseksual. Seseorang tidak bisa disebut murni homoseksual atau heteroseksual. Ia memperkenalkan skala yang disebut Kinsey Scale yang menunjukan gradasi orientasi seksual manusia dengan rasio 0-6 penelitian dari murni homoseksual bergradasi hingga murni heteroseksual (Alfred Kinsey, et al. Sexual Behavior In The Human Male, (Philadelphia: The Saunders Company,1948). Seorang manusia bisa saja pada satu masa dalam hidupnya adalah homoseksual dan terus berkembang menjadi heteroseksual atau sebaliknya. Ia menegaskan hal tersebut setelah menunjukan skalanya penelitian. Di dalam penjelasannya di atas, Kinsey memberikan pandangan yang sangat revolusioner tentang seksualitas. Selama ini para peneliti melihat dua kecenderungan tersebut sebagai dua entitas terpisah yang bisa berada di dalam diri seseorang. Kinsey menunjukan bahwa homoseksualitas adalah varian normal dari kehidupan seksual seseorang.
Proses deklasifikasi homoseksual yang tidak lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan, tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa karya radikal yang dipublikasikan selama kurun 50-an dan 60-an. Karya-karya tersebut menggugat otoritas psikiatri untuk menentukan seseorang “gila” atau tidak. Mereka juga menentang perlakuan “penyembuhan” terhadap pasien psikiatri yang dianggap melanggar hak-hak mereka. Di antara karya semacam ini yang sangat berpengaruh adalah tulisan filsuf Prancis yang juga seorang gay, yang akhirnya meninggal karena komplikasi HIV AIDS, Michel Foucault http://lgbthistorymonth.com/michel-foucault?tab=biography. Pemikiran-pemikiran Foucault di dalam Madness and Civilization yang terbit tahun 1961 https://libcom.org/files/Michel%20Foucault%20-%20Madness%20and%20Civilization.pdf
berdampak besar dalam delegitimasi otoritas psikiatri dalam menentukan homoseksual sebagai penyakit. Karya  Foucault ini menegaskan bahwa psikiatri adalah upaya untuk meminggirkan mereka yang secara politis tidak diinginkan. Karya lain yang menyumbangkan basis intelektual bagi gerakan anti-psikiatri ini adalah tulsian radikal seorang psikolog bernama Thomas S. Szasz berjudul Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, terbit pertama kali pada tahun 1961 http://psychclassics.yorku.ca/Szasz/myth.htm. Szasz menegaskan bahwa “penyakit mental” hanyalah mitos, masalah sesungguhnya ada pada cara masyarakat melihat fenomena-fenomena tersebut.
Namun  keputusan  APA untuk mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM sebagai penyakit mental tidak begitu saja diterima oleh semua kalangan psikolog. Meskipun itu tidak berarti mengakuinya sebagai orientasi yang betul-betul normal. Banyak ahli yang tidak sependapat.  
Ada banyak peneliti yang bebas dari kepentingan pro-gay mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N. Whitehead adalah seorang ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat puluh tahun. Dari hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu direvisi dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence http://www.mygenes.co.nz/
Bukti terkuat menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies http://www.redflagnews.com/headlines/identical-twin-studies-prove-homosexuality-is-not-genetic. Secara sederhana twin studies adalah studi yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun demikian, studi yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik menunjukan bahwa dari sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual, hanya satu dari sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead, hasil studi ini tidak hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis lainnya.
Argumen Whitehead  yang lain adalah menguji hasil temuan Kinsey bahwa 1 dari 10 orang adalah homoseksual (10%). Whitehead membandingkan temuan Kinsey ini dengan hasil survey modern, tahun 2010, dan ternyata hasilnya sangat jauh. Survey dari lembaga independen menunjukan homoseks termasuk biseks hanya 2-3% dari populasi. Sebagai ahli genetika, Whitehead menyimpulkan bahwa jumlah ini menunjukan faktor nurture lebih dominan bila dibandingkan dengan faktor nature, “modern surveys when interpreted show the genetic contribution to SSA is minor and the environmental contribution is much greater”. Temuan Whitehead ini hanya mempertegas hasil penelitian Dean Byrd, seorang profesor Psikologi klinis dari University of Utah School of Medicine. Dalam studinya yang dipublikasikan pada tahun 2001, Byrd menyimpulkan bahwa “the main studies on whether homosexuality  is caused by biology appear to  lack a  significant amount  of scientific  support”.  Jadi, bisa disimpulkan bahwa adanya unsur genetika yang membawa “gay gen” pada seseorang tidak otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Faktor terpenting adalah pola asuh pada keluarga dan lingkungannya.
Isu perdebatan penting lainnya adalah persoalan perubahan orientasi seksual seseorang dengan kecenderungan homoseksual. APA telah mengklaim bahwa tidak ada satupun bukti keberhasilan terapi semacam itu. Bahkan para ahli yang menyuarakan pendapat berbeda akan mendapatkan tekanan. Salah satunya adalah Robert L. Spitzer, pada tahun 2003, ia mempublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukan keberhasilan perubahan orientasi seksual dari 200 orang yang menjalani terapi. Sejak saat itu ia mengalami tekanan dari komunitas gay sehingga mencabut kembali hasil penelitiannya tersebut di dalam sebuah tulisan singkat. Keputusan Spitzer tersebut dikritik oleh sekelompok psikolog, Jerry A. Armelli, Elton L. Moose Anne Paulk, dan James E. Phelan. Menurut mereka keputusan Spitzer untuk menarik hasil penelitiannya hanya karena desakan seorang gay sangat bermasalah. Apalagi gay yang mendatangi rumahnya tersebut bukanlah partisipan di dalam studi Spitzer. Mereka menutup tanggapan tersebut dengan penegasan, “however, one can apologize for the consequences of a study, but one cannot undo the evidentiary data. Well-intended sentiments cannot undo facts.”
Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah klaim APA, tim dari National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) menunjukan bahwa studi yang dilakukan selama 125 tahun belakangan menunjukan bahwa orientasi seksual seseorang bisa berubah melalui berbagai macam pendekatan. Hanya setelah APA mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM, paradigma terhadap homoseksual pun berubah dari “mengubah orientasi” menjadi membantu klien menerima keadaan homoseksualitas mereka.
Unsur politis dalam keputusan APA ini telah menghilangkan kredibilitas psikiatri khususnya mereka yang di bawah naungan APA. Salah satu tokoh yang menyayangkan hal ini adalah Nicholas Cumming, mantan presiden APA. Menurut Cummings (mantan presiden APA), ketundukan APA kepada tekanan politis dalam kasus homoseksualitas ini adalah sebuah bentuk perkembangan yang destruktif terhadap ilmu psikologi sendiri. Dalam pandangannya, diagnosis terhadap kaum homoseksual pasca-revolusi seks bersifat politis penelitian. Menurut Cummings, ketika melakukan deklasifikasi homoseksual dari DSM, APA telah melanggar Leona Tyler Principle, yaitu pernyataan bahwa psikolog yang tergabung di dalam APA akan mengambil keputusan bersadarkan temuan saintifik murni dan tidak menyerah pada tekanan politik dari satu individu atau kelompok. Di dalam pengambilan keputusan tersebut, menurut Cummings, APA telah tunduk kepada tuntutan politis aktivis gay.  Melihat keadaan ini, Cummings menggugah komunitas psikologi di Amerika Serikat, untuk melakukan reformasi di dalam tubuh American Psychological Association (APA) sehingga mereka bisa kembali independen bebas dari agenda ideologi tertentu.
Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang-orang homoseksual tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila berasal dari dorongan keimanan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.[ Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 2009), hal 62] Selain itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan libido. Faktor iman,  ternyata menempati posisi yang penting https://www.islampos.com/prof-dr-dr-dadang-hawari-perilaku-lgbt-akibat-nalar-dan-jiwa-yang-sakit-194451/.
Temuan Spitzer tentang 200 orang homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the vast majority (93%) of the participants reported that religion was “extremely” or “very” important in their lives. “ Hasil temuan ini sejalan dengan upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti Dadang Hawari untuk melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologis.
Pandangan Islam terhadap homoseksualitas selain didasarkan atas penemuan ilmuwan tentang fenomena ini, harus pula didasarkan atas wahyu. Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw adalah petunjuk yang tetap. Dengan demikian, dasar penilaian terhadap homoseksualitas tidak berubah seiring perkembangan masyarakat, melainkan turut pada keputusan Allah. Karena itu,, para ulama telah sepakat bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terlarang. Kesepakatan tersebut terjadi sebab larangan homoseksual telah jelas di dalam wahyu, bukan karena pengaruh heteronormativisme seperti yang diyakini pemikir liberal.
Istilah yang tepat untuk homoseksualitas adalah istilah liwāṭ (اللواط) sedangkan pelakunya disebut lūṭiy (اللوطي), para ulama dari kalangan ahli fikih, mufassir, ahli hadis dan ahli bahasa telah sepakat dengan penggunaan terminologi ini. Istilah ini (liwāṭ dan lūṭiy) bukan saja merujuk kepada tindakan seksual (sexual behavior) tapi juga merujuk kepada orientasi seksual, yang secara psikologis melibatkan perasaan cinta dan ketertarikan. Hal ini bisa dilihat dari akar kata “لوط ” yang secara etimologis mengandung pengertian cinta dan melekat atau cinta yang melekat di hati (al-hub al-lāziq bi al-qalbi) sebagaimana disebutkan di dalam Lisān al-‘Arab. Meskipun istilah liwāṭ sesungguhnya diambil dari nama Nabi Luth, tapi makna kebahasaan yang terkandung di dalam akar katanya tetap mengikut di dalam kata liwāṭ dalam kaitannya dengan homoseksualitas.
Salah satu tema sentral dalam problem homoseksual dari segi teologis adalah bahwa keadaan tersebut—orientasi seksual kepada sesama jenis—adalah bagian dari kodrat Allah kepada seseorang. Beberapa pemikir liberal pun menghalalkan homoseksual dengan dalih ini. Tim penulis Fiqih Seksualitas  IHusein Muhammad et al, Fiqh Seksualitas) http://documents.tips/documents/fiqh-seksualitas.html
misalnya menyatakan bahwa homoseksualitas adalah takdir, sehingga harus diterima (rida) oleh yang bersangkutan dan ditolerir oleh masyarakat. Di dalam Islam, konsep yang memiliki kaitan dengan ini adalah fitrah penciptaan manusia. Sebab term fitrah digunakan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika lahir di muka bumi ini. Istilah ini bahkan digunakan di dalam al-Qur’an dalam narasi yang menggambarkan penciptaan langit, bumi, dan manusia.
Secara etimologi fitrah memiliki beberapa makna. Kata fitrah adalah serapan dari bahasa Arab فطرة, sehingga pengertiannya akan dibahas dari sudut pandang bahasa Arab. Kata ini berasal dari فطر (fa ṭa ra) yang berarti menguak atau membelah. Sementara para ahli bahasa menambahkan bahwa fitrah adalah menciptakan sesuatu untuk pertama kali/ tanpa ada bentuk sebelumnya, fitrah juga bisa diartikan asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar, fitrah juga bisa diartikan keadilan suci. Artinya fitrah merupakan penciptaan seseorang yang sesuai dengan agama yang benar dan tuntutan akan hakikat kehidupan yaitu mencari keadilan tentang penyembahan akan Tuhan. Fitrah merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir. Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah memiliki kecenderungan untuk mengikuti kebaikan. Karena itu, konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya.[ QS. adz-Dzariyat: 56] Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial.  Penggunaan kata fitrah di dalam surah ar-Rum: 30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui ", menguatkan pengertian ini. Di dalam ayat tersebut, frasa fitratallāhi disandingkan dengan ad-dīn hanīfah. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah memang menciptakan (faţara) makhluknya di atas keislaman. Abu Hurairah mengutip ayat tersebut setelah meriwayatkan hadis pokok tentang fitrah, ini menunjukan bahwa Abu Hurairah memahami fitrah terkait erat dengan kebaikan dan secara khusus kepada Islam.
Berdasarkan konsep fitrah ini, maka dalam konteks normalitas dari perspektif Islam, seorang yang normal adalah seorang yang berada di atas fitrahnya yaitu cenderung kepada kebaikan. Konsep normal dan abnormal sangat penting dipahami sebab dari sinilah akan diputuskan, apakah homoseksualitas merupakan keadaan asal yang normal bagi manusia atau bukan. Normalitas dari perspektif para ulama disebut sebagai keadaan hati yang sehat (al-qalb as-salīm). Di dalam karyanya Igāṡah al-Luhfān, Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah merangkum pendapat para ulama mengenai karakteristik hati yang sehat, yakni hati yang selamat (salima) dari setiap keinginan (syahwah) yang bertentangan dengan perintah atau melanggar larangan Allah serta hati yang selamat dari keragu-raguan (syubhāt) yang bertentangan dengan kabar dari-Nya. Jadi ada dua penyebab utama hati menjadi sakit yaitu syahwah dan syubhah.
Syahwat di dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi pada nafsu seksual, tapi dalam pengertian al-Qur’an, syahwat pada dasarnya adalah anugerah yang diberikan Allah kepada manusia dan harus digunakan pada jalan kebaikan. Al-Ragib al-Asfahānī di dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān menjelaskan bahwa syahwat adalah dorongan kuat terhadap jiwa agar meraih yang diinginkannya. Syahwat memiliki dua bentuk, ada yang baik (syahwah ṣādiqah) dan ada pula yang buruk (kāżibah). Syahwat yang buruk adalah dorongan jiwa untuk meraih sesuatu yang dilarang oleh Allah. Homoseksualitas di dalam al-Qur’an disifati sebagai syahwat yang buruk (fāḥisyah). Perbuatan lain yang disifati dengan kata fāḥisyah oleh al-Qur’an adalah perzinaan. Karena itu, beberapa ulama menyamakan antara perbuatan liwāţ kaum homoseks dengan perbuatan zina. Hubungan dari keduanya adalah sama-sama ekspresi syahwat yang keluar dari fitrah manusia.
Godaan untuk menyimpang dari fitrah melalui syahwat adalah bentuk ujian Allah kepada manusia. Manusia tidak diciptakan untuk terus-menerus suci sepanjang hidup mereka. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa meskipun telah memiliki fitrah yang innate pada dirinya, manusia tetap memiliki potensi untuk berbuat salah. Perbuatan tersebut berasal dari kelupaannya terhadap fitrah dirinya. Manusia disebut al-insān, karena sebab ini. Insān seakar dengan kata nisyān, yang berarti lupa. Di dalam al-Qur’an sendiri telah disebutkan bahwa Allah mengilhamkan fujūr dan taqwa ke dalam jiwa manusia (nafs). Fujūr menurut ar-Rāgib berarti tercabiknya tabir agama (syaqq satri diyānah). Maka fujūr yang telah diilhamkan Allah kepada jiwa manusia adalah potensi kerusakan fitrah. Namun demikian, Allah pun telah mengilhamkan taqwa yang berarti menjaga diri.

Dari perspektif ini, homoseksualitas dipandang sebagai bagian dari fujūr yang harus dilawan dengan taqwa oleh mereka yang merasakan kecenderungannya. Telah dipaparkan pada bagian kajian psikologis, bahwa meskipun ada kemungkinan genetik dalam etiologi homoseksual, faktor lingkungan tetap yang paling dominan. Fitrah bisa berubah karena faktor lingkungan dan pola asuh di keluarganya. Meski demikian, ia bisa saja berubah jika memiliki motivasi yang kuat. Taqwa adalah sumber motivasi tersebut. Manusia harus melawan semua kecenderungan buruk pada dirinya. Para ulama telah merumuskan upaya beranjaknya jiwa manusia dari tingkatan pergolakan melawan fujūr hingga menjadi jiwa yang tenang (an-nafs al-muţmainnah). Rumusan tersebut diderivasi dari pembagian al-Qur’an atas jiwa manusia menjadi tiga macam penelitian an-nafs al-ammārah bi as-su’, an-nafs al-lawwāmah, dan an-nafs al-muţmainnah.
Pembagian nafsu menjadi tiga di atas sebenarnya adalah entitas yang sangat dinamis, manusia senantiasa berusaha beranjak menjadi lebih baik. Fitrah manusia senantiasa beredar di antara tiga keadaan tersebut. Keadaan pertama adalah an-nafs al-ammārah bi as-su’, secara literal berarti jiwa yang selalu mengarahkan diri pada keburukan.  At-Tustari di dalam tafsirnya http://www.altafsir.com/Books/Tustari.pdf  menyebutkan empat tabiat dari nafsu ini yang membuatnya menjadi tingkatan terendah :  pertama nafsu hewani (bahāim) yang berpusat pada pemuasan birahi seksual dan nafsu makan, kedua nafsu syaitani (tab’u asy-syayāţīn) yang mendorong manusia untuk tenggelam dalam perbuatan yang sia-sia, ketiga nafsu ini akan mendorong orang-orang untuk berbuat licik dan menipu, keempat, nafsu ini selalu mendorong seseorang untuk berlaku sombong dan angkuh seperti Iblis (al-abālisah al-istikbār). Orientasi homoseksual jelas merupakan dorongan dari nafsu ini, khususnya pada tabiat bahāim yang mendorong seseorang untuk selalu mencari kepuasan seksual. Bila diikuti, maka nafsu ini akan meminta pemenuhan menjadi tindakan homoseksual.  Apabila tidak ada perlawanan, maka seseorang berorientasi homoseksual akan melakukan come out, dan menjadi gay. Ia akan merasa bangga atas maksiat yang dilakukannya. Pada tahap ini, ia telah jatuh di dalam perangkap keempat yakni menjadi angkuh dengan penyimpangannya dari fitrah.
Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk melawan kecenderungan nafsu yang buruk. Meskipun manusia bisa saja jatuh ke dalam keadaan buruk sebab kealpaannya, Allah telah memberikan mereka potensi berupa ilmu serta kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemudian manusia diberikan petunjuk langsung berupa wahyu. Allah memberikan manusia kekuatan ikhtiyār, yakni kemampuan untuk selalu memilih jalan terbaik. Bahkan manusia yang telah jatuh ke dalam keburukan akan merasa gelisah atas keadaannya tersebut. Keadaan gelisah karena penyimpangan ini disebut an-nafs al-lawwāmah. Secara literal lawwāmah berarti selalu menyalahkan dirinya, menyesali keadaannya. Seorang yang berada pada keadaan ini selalu menyesali dirinya sembari terus bersungguh-sungguh melakukan kebaikan. Keadaan ini merupakan langkah besar pertama dalam perkembangan psiko-spritual seseorang. Dari perspektif lain, Ibn al-Qayyim menyebut keadaan ini sebagai hati yang sakit (al-qalb al-marīḍ). Ciri hati sakit adalah padanya ada kecintaan kepada Allah tapi ia senantiasa dibayangi syahwat yang berusaha memalingkannya dan selalu ia lawan dengan gelisah.

Dalam keadaan nafs al-lawwāmah seseorang harus terus menerus mengikuti ilmu dari Allah (wahyu) serta mengikuti akal sehatnya. Al-Attas menegaskan bahwa manusia di dalam tahapan ini sedang berjuang melawan nafsu hewani (animal powers). Untuk memenangkan pertarungan tersebut, ia harus memakai ilmu pengetahuannya, akhlak yang sempurna, serta usaha yang kuat. Muslim yang mengalami keadaan ini juga perlu senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, Dia akan senantiasa memenuhi permohonannya. Seorang yang memiliki kecenderungan homoseksualitas di dalam dirinya dan merasa gelisah atas keadaan tersebut sedang berada di fase ini. Maka ia seharusnya mengikuti tuntunan wahyu untuk menjauhinya. Kajian psikologi yang telah disebutkan di atas telah menunjukan bahwa ia bisa berubah bila menguatkan motivasinya. Akal sehat harus didahulukan di atas keinginan nafsunya. Telah terbukti bahwa kaum homoseksual yang berkecimpung di dalam kehidupan gay adalah kelompok paling rentan terhadap penularan penyakit kelamin dan AIDS. Seorang yang memiliki akal sehat akan menghindarkan  dirinya dari kecelakaan dunia dan akhirat.
Manusia yang berhasil melewati tahapan an-nafs al-lawwāmah akan memperolah ketenangan batin di sisi Allah. Keadaan ini disebut a-nafs al-muţmainnah  yang secara literal berarti jiwa yang tenang. Al-Khāzin di dalam tafsirnya menggambarkan jiwa ini sebagai jiwa yang menetapi keimanan, ketakwaan, membenarkan dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah. Ia rida terhadap keadaan dirinya sesuai ciptaan Allah. Bagi seorang yang memiliki kecenderungan homoseksual dan berhasil mengatasinya, ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah. Ia rida terhadap cobaan dari Allah berupa kecenderungan menyukai sesama jenis. Bentuk keridaannya ini bukanlah dengan mengikuti kecenderungan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh kaum liberal. Keridaan yang sesungguhnya, sebagaimana ditegaskan al-Khazin, adalah rida mengikuti ketentuan wahyu meskipun ia harus berusaha melawan kecenderungan buruk dalam dirinya. Allah memastikan ujian yang diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya. Apabila dirinya sukar dalam usaha tersebut, ia jatuh kembali di dalam homoseksualitas selama terapi, maka ia tidak boleh berputus asa. Allah bersedia senantiasa menerima taubat dari hamba-Nya.



Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS Az Zumar 53).

"Sesungguhnya syetan itu berkata, Demi keagungan-Mu yaa Allah, aku akan senantisa menggoda manusia selama ruh mereka masih bersatu dengan jasad mereka. Allah Tabaraka wa Ta'ala pun menjawab, " Dengan keagungan-Ku pula, Aku akan senantiasa mengampuni mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku." (HR. Ahmad dan Hakim).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...