Perilaku menyimpang atau bisa disebut penyimpangan sosial
adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma kesusilaan atau
kepatutan, baik dalam sudut pandang moral kemanusiaan ataupun agama secara
individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah
laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan
dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Berikut dikutip beberapa definisi para ahli mengenai perilaku
menyimpang :
Bruce J. Cohen
Perilaku menyimpang adalah setiap
perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak
masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
Gillin
Perilaku menyimpang adalah perilaku yang
menyimpang dari norma dan nilai sosial keluarga dan masyarakat yang menjadi
penyebab memudarnya ikatan atau solidaritas kelompok.
Lewis Coser
Mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan
perubahan sosial.
James Vander Zenden
Penyimpangan sosial adalah
perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan
di luar batas toleransi.
Paul B. Horton
Mengutarakan bahwa penyimpangan adalah setiap
perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau
masyarakat
Robert M.Z. Lawang
Penyimpangan sosial adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan
menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki
perilaku yang menyimpang itu.
Dalam pandangan Islam perilaku yang lurus (tidak menyimpang) dikenal
dengan nama Fitrah dan ini merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir.
Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah
memiliki kecenderungan untuk mengikuti kebaikan. Karena itu, konsep fitrah
tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan
netral tidak memiliki potensi apa-apa.
Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya
adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan
penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya QS. adz-Dzariyat:
56. Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai
pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial. Penggunaan kata fitrah di dalam surah Ar-Rum: 30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui "
Bagaimana sosiologi menjelaskan
perilaku seksual menyimpang ?
Menurut Kartini dalam penelitian Psikologi
abnormal dan abnormalitas seksual 1989:248)
sebab-sebab perilaku homoseksual, antara lain:
1. Faktor dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks di dalam
tubuh seseorang.
2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi
perkembangan kematangan seksual yang normal.
3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual karena pernah
menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.
4. Seorang anak laki-laki pernah
mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau
antipati terhadap ibunya dan semua wanita.
Dalam memahami perilaku individu, sosiologi memusatkan
perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang individu terhadap
lingkungan dan dampak lingkungan terhadap individu itu sendiri. Lingkungan
merupakan tempat perilaku seorang individu dikembangkan, namun perilaku
individu itu sendiri juga mempengaruhi lingkungan tempat si individu itu
berada.
Sosiologi melihat sosialisasi yang muncul pada masa lalu
seorang gay ataupun lesbian bisa menjadi
faktor pembentuk perilaku menyimpang individu
tersebut, hal inilah yang mempengaruhi perubahan orientasi seksualnya menjadi
homoseksual.
Dalam sebuah kesimpulan penelitian Gesti Lestari “FenomenaHomoseksual di Kota Yogyakarta 2012” menuliskan proses awal menjadi homoseksual
:
Kecenderungan menyukai sesama jenis bisa terjadi pada siapa
saja dengan kecenderungan dan waktu yang berbeda beda. Secara umum, hal pertama
yang dirasakan adalah kegalauan. Homoseksual atau ‘binaan’ ini akan merasa
bimbang dengan kecenderungannya ini.
Kemudian kebanyakan dari mereka berusaha mencari jati dirinya dengan
mencari teman yang sudah lebih dulu menjadi seorang ‘binaan’. Untuk mendapatkan
teman banyak dilakukan di dunia maya atau sekedar jalan ke tempat tempat umum
seperti mall. Saling bertukar cerita dan pengalaman, sehingga hubungan antar
homoseks atau gay akan lebih erat.
Seseorang menjadi homoseksual karena pengaruh orang-orang
sekitarnya, seperti faktor keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung.
Sikap-tindaknya yang kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu
yang dominan sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya. Selain itu,
homoseksual juga dapat disebabkan sering mengalami kegagalan dalam menjalin
hubungan dengan lawan jenis sehingga mereka melampiaskan kekecewaan itu dengan
menjalin hubungan dengan sesama jenisnya.
Lingkungan dapat memengaruhi perkembangan seseorang untuk
menjadi homoseksual. Menurut Kartono (1989:248), penjara dan asrama-asrama
putra, tempat para pemuda dan kaum pria berdiam terpisah dengan kaum wanita,
banyak menghasilkan peristiwa homoseksual. Studi mengenai hal ini juga telah
banyak dilakukan diantaranya : https://www.academia.edu/13855963/Implikasi_Globalisasi_Seksualitas_Terhadap_Kebudayaan_Lokal_Madura_Studi_Tentang_Perilaku_Homoseksual_di_Pondok_Pesantren
Dalam konsep fungsionalisme struktural yang dijelaskan oleh Tallcot Parsons, masyarakat dilihat
sebagai sebuah hal yang terdiri dari sistem maupun unsur dalam sistem
(sub-sistem) yang akan menentukan bagaimana kehidupan sosial dalam suatu
masyarakat dapat berjalan dengan baik. Menurut teori fungsionalisme struktural, maka ketika salah satu sistem
maupun sub-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya dapat
menyebabkan terciptanya penyimpangan dalam diri seorang individu yang terkait
dengan sistem maupun sub-sistem tersebut. Perilaku menyimpang seksual yang
muncul dalam diri seorang gay/lesbian
diakibatkan oleh sosialisasi dari sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat
yang berjalan tidak semestinya. Beberapa unsur masyarakat yang dapat dikatakan
sebagai sistem yang membentuk masyarakat antara lain adalah lingkungan keluarga
dan pergaulan.
Dalam sudut pandang sosiologi, penyimpangan dimungkinkan
terjadi karena seseorang menerapkan peranan sosial yang menunjukan perilaku
menyimpang. Bagaimana seseorang dapat memainkan peran sosial yang menyimpang
sangat terkait dengan sosialisasi yang ia dapat dalam sistem masyarakat tempat
ia berada. Seperti telah dijelaskan diatas, keluarga dan lingkungan pergaulan
akan sangat mempengaruhi pembentukan peranan sosial seorang individu, hal ini
dikarenakan keluarga dan lingkungan pergaulan merupakan salah satu sistem
penopang masyarakat dimana seorang individu memiliki intensitas interaksi yang
tinggi terhadapnya. Dalam konteksnya sebagai salah satu bentuk penyimpangan
sosial seorang homoseksual pada awalnya memperoleh sosialisasi untuk menjadi
homoseksual dari lingkungan dan keluarganya.
Pada proses perkembangan anak remaja yang normal,
biseksualitas remaja akan berkembang menjadi heteroseksual. Sebaliknya, apabila
proses tersebut menjadi abnormal yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor
eksogen atau endogen tertentu, maka biseksualitas tersebut akan berkembang
menjadi homoseksualitas. Oleh karena itu, yang menjadi objek erotiknya adalah benar-benar
seorang dengan jenis kelamin yang sama (Kartono, 1989:249).
Ayah mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan peran
seksual anak. Jika peran ayah kecil atau tidak berperan sama sekali dalam
perkembangan anak, terutama dalam hal pola asuh, maka akan muncul
kesimpangsiuran peran jenis kelamin anak (Dagun, 1990:104-105) [Dagun, Save M.
1990. Psikologi Keluarga: Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta: Rhineka Cipta].
Mavis Hetherington (melalui Dagun, 1990:105) mengatakan,
anak laki-laki yang ditinggalkan ayahnya sejak dini berperilaku tidak maskulin.
Selain itu anak menjadi kurang mandiri, ketergantungan, kurang tegas, dan tidak
menyukai permainan yang melibatkan fisik. Keadaan tersebut bagi anak laki-laki
akan mengakibatkan kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki.
Menurut Adelsa (2009) [Adelsa,
Veronica. 2009. Definisi dan
Proses Homoseksual],
faktor lingkungan keluarga yang dapat memengaruhi terbentuknya homoseksual,
yaitu: (1) pola asuh, dan (2) figur orang yang berjenis kelamin sama dan
relasinya dengan lawan jenis.
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak
pertama-tama akan melihat pada orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin
sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat
pada ibunya, dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis
kelamin sama dengannya.
Sosialisasi yang dapat mendorong seseorang melakukan
tindakan maupun perilaku menyimpang pada umumnya berasal dari lingkungan
terdekatnya seperti keluarga dan lingkungan pergaulannya. Terkait dengan
masalah gay, umumnya sosialisasi yang didapat seorang gay dalam keluarga terjadi
jika ia memiliki ibu yang bersifat selalu membelanya atau terlalu memanjakan,
sedangkan ia memiliki ayah yang bersikap apatis (terlalu otoriter) dan
menganggap anaknya itu sebagai rival. Hal ini akan mendorong seorang individu
untuk cenderung memendam sikap maskulinnya. Sehingga terbentuk sikap pemalu,
pendiam, lemah dan penyendiri dan berujung kepada penyimpangan orientasi
seksual.
Sosialisasi yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya akan
menjelaskan mengapa seseorang menjadi homoseksual, hal ini karena mereka
terbiasa dengan lingkungan atau pergaulannya yang mendukung dirinya untuk
menjadi seorang homoseksual. Contohnya adalah orang normal yang telalu sering
bergaul dengan komunitas homoseksual, sehingga dirinya terbawa dengan kebiasaan
dan gaya hidup mereka.
Sebagai penutup saya ingin menshare postingan curhat yang
diunggah melalui facebook bahwa perilaku penyimpangan seksual ini
mempunyai efek domino, berdampak
kerusakan besar bagi kesehatan
masyarakat secara sosial.
----
Saya (perempuan) punya seorang teman baik saat kuliah (laki-laki)
hingga awal kerja dulu. Cerdas, salah satu peraih Ganesha Prize di angkatannya.
Olahragawan. Charming. Sanguine, hampir semua orang di sekelilingnya berpikir
dia menyenangkan. Singkat cerita, semua tampak baik-baik saja.
Hingga satu hari, di hari ulangtahunnya, dia bercerita:
bahwa dia gay.
Sambil menangis dia menceritakan bagaimana ini bermula. Saat
SMA ia baru ditinggal wafat ayahnya, ia terpukul. Ibunya sibuk bekerja.
Sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktu di sekolahan hingga hari gelap.
Nangkring sendirian. Lalu pulang ke rumah, mendengarkan
radio anak muda Bandung. Kebetulan --- satu malam dia mendengarkan acara
semacam *bandung-underground* yang sedang membahas komunitas gay. Iseng dia
menyimak. Geli. Lalu mencatat alamat website komunitas ini. Hanya ingin tahu,
pikirnya. Fasilitas internet rumahan, sesuatu yang masih jarang di zamannya,
sudah dia miliki. Malam itu juga ia berselancar ke website tersebut. Dasar anak
kecil. Dia memperkenalkan diri sebagai anak normal yang berkunjung dan
hanya-ingin-tahu. Beberapa orang menyapanya hangat. Menanyakan aktivitas
hariannya. Dan dia jawab. Lalu Internet dia matikan. Tidur.
Beberapa hari kemudian, saat sedang duduk sendirian (lagi)
di sekolahan, tiba-tiba seorang kakak mahasiswa mendekati. Berkenalan. Terus
hingga beberapa waktu. Rutin ditemani untuk sekadar bertanya ini itu. Ada ruang
kosong yang ditinggalkan ayahnya, kini terisi. Kehadiran seorang kakak. Dia
merasa punya semangat hidup lagi. Beberapa kali pula mereka makan bareng d BIP,
hingga pada satu hari, sehabis makan bersama ia terbangun di kost-an. Tanpa
busana. Dan si kakak mahasiswa ada duduk di sana.
Dia menangis. Dan si kakak biadab itu menenangkannya.
Ternyata si kakak menandainya sejak ia berkunjung ke website komunitas mereka.
Apakah saat itu ia marah? Tidak, ia tidak bisa marah katanya, ada ruang kosong
yang terisi. Lalu kenapa ia menangis? Karena nuraninya berteriak, ini tidak
benar.
Sekolahnya lulus, masuk tempat kuliah yang sama dengan si
kakak biadab. Dan meski ia beberapa kali berniat menjauh, jasadnya berubah
orientasi. Dia panas dingin setiap bertemu. Sekadar tatap muka pun menjadi hal
yang candu baginya. Baik dengan si kakak, maupun dengan pria lain sejenisnya.
Hari itu dia menutup ceritanya dengan: aku ingin sembuh.
Ibunya tidak tahu hal ini. Dan ia tersiksa. Kalau perempuan sudah pasti saya
peluk. Kasihan. Minta diperkenalkan dengan teman wanita untuk menikah. Sesuatu
yang saat itu tidak bisa saya penuhi. Yah gimana, saat melihat perempuan, dia
akan menatap laki-laki disampingnya. Menatap lho. Lalu ia menambahkan juga
bahwa ia menyukai tipe-tipe seperti kakakku (seorang laki-laki), yang
seringkali berkunjung ke kostan. Pengertian, hangat, katanya.
---
Semoga kita semua sebagai masyarakat sosial yang sehat,
dapat menjaga kesehatan masyarakat ini dengan sekuat-kuatnya. Dan bagi mereka
yang mengalami penyimpangan secara seksual segeralah berusaha untuk sembuh dengan
kemauan kuat dan mintalah pada-Nya untuk mengembalikan dirinya tunduk pada
fitrah Allah SWT, berhentilah memperturutkan tarikan syahwat yang merusak diri
sendiri dan orang lain. Bertobatlah dan stop propaganda bahwa kalian normal dan
menuntut legalisasi pernikahan sesama jenis, sebab itu menipu diri sendiri dan makar
dalam kehidupan masyarakat normal.
Bagaimanakah agama bisa dijadikan episentrum kebenaran? Bagaimanakah agama dapat jawaban atas lgbt? Agama sendiri bukanlah suatu hal yang universal dan karena ia adalah agama maka ia hanyalah sebuah ideologi, tidak lebih daripada opini. Kebenaran agama saja masih dipertanyakan sampai detik ini jadi tentunya anda tidak bisa menggunakan agama sebagai dasar argumentasi anda bahwa kelompok "lgbt" adalah merupakan suatu kesalahan dalam masyarakat (komentar ini juga berlaku pada page anda "FENOMENA LGBT"). Dan terdapat beberapa loophole dari teori sosiologi yang anda gunakan menyebabkan banyaknya pertanyaan baru, seperti misalnya jika anak laki-laki cenderung gay dikarenakan kurangnya aktivitas fisik lalu bagaimana anda menjelaskan fenomena atlet-atlet laki-laki yang gay? Atau jika homoseksualitas pada laki-laki dikaitkan dengan sikap pemalu dan pendiam serat feminin lalu bagaimana denga laki-laki gay yang sangat terbuka, mudah bergaul dengan siapa saja, dan bersikap maskulin? Atau bagaimana dengan individu homoseksual yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik dan berimbang seperti banyak pada umumnya? Atau jika homoseksualitas harus selalu mendapat dorongan dari homoseksual lain maka siapakah yang mendorong homoseksual pertama? Atau apa bedanya homoseksual yang tinggal dilingkungan dengan hanya sesama jeni seperti asrama atau penjara, dengan homoseksual yang lebih banyak bergaul dengan lawan jenisnya? Atau apakah yang bisa dikategorikan menyalahi kodrat jika pada umumnya semua orang adalah biseksual pada saat remaja? Atau jika homoseksualitas adalah akibat pengaruh biologis, maka apanya yang tidak sesuai kodrat/unnatural/tidak sesuai kodrat (bukannya hal-hal natural diatur oleh tuhan juga)? Dan terakhir jika permasalahan terdapat pada struktur sosial, sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan beresensi fluid serta tidak universal/berbeda-beda pada setiap kelompok masyarakat, maka bukankah struktur sosial tersebut yang seharusnya diubah untuk membuat sebuah sistem yang satu padu dan non-diskriminatif atau menerima sehingga sistem masyarakat tersebut dapat berjalan dengan lebih baik? Mungkin bisa dijawab, trims. Dan sebuah kalimat kritik: Pembahasan yang anda paparkan terlalu heteronormatif dan subjektif pada beberapa poin.
BalasHapusanak gay yang atlet itu, apakah ada kecendrungan gay dulu baru menjadi atlet atau sebaliknya? untuk tau jawabannya pasti, ada penelitian dulu terhadap si penderita. banyak kemungkinan, kecendrungan untuk gay yang rendah bisa saja muncul kembali ketika bertemu dengan orang yang sama, sesama gay dan menjadi lebih kuat ketika bertemu gay dan atlet lainnya. jika benar begitu, artinya faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya.
HapusIzin jawab
HapusSecara biologis manusia melakukan hubungan seks agar bisa mendapatkan keturunan dan hubungan sesama jenis bertujuan untuk memenuhi nafsu saja. Dan apa yang ada di masyarakat merupakan representasi untuk memepertahankan populasi. Masyarakat menganggap buat apa hubungan seks tapi tidak menginginkan keturunan. Itu pendapat masyarakat tradisional, sekarang di masyarakat modern untuk mencegah kehamilan bisa dengan kontrasepsi. Dan sekarang populasi sudah terlalu banyak, buat apa punya keturunan banyak? Menurut saya fenomena lgbt muncul karena hubungan seksual tidak ditujukan lagi untuk mempertahankan spesies,tapi untuk memenuhi insting manusia untuk berreproduksi. Buat apa sama lawan jenis kalau sesama jenis mau melakukannya dengan kita(pikir pro kaum lgbt)
Disini saya hanya menjawab dari berbagai sisi,saya tidak berpihak pada pihak manapun.