Korupsi, secara harfiah dapat diartikan sebagai perbuatan yang curang, kotor, busuk, atau tidak baik. Pengertian sederhana dari kata korupsi adalah segala bentuk perilaku individu atau golongan yang dapat menyebabkan kerugian material pada negara. Di negeri ‘kaya raya’ ini, korupsi bukanlah sesuatu yang sesederhana itu. Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif bahkan Ketua RT/RW-pun melakukan praktek korupsi. Korupsi di negeri ‘kaya raya’ ini bersifat struktural dan sangat kompleks. Hanya di negari ‘kaya raya’ inilah kita akan menemukan makelar kasus dan joki narapidana. Se-kompleks itulah praktik korupsi di negari ‘kaya raya’ ini.
Janji Suci Pemberantasan Korupsi dalam Nawacita
Semangat pemerintahan Indonesia dalam memberantas korupsi sudah terhitung sejak lama. Mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi saat ini semangat pemberantasan korupsi masih tetap dan terus digaungkan. Diawali dengan lahirnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang menjadi roh gerakan Reformasi 1998, TAP ini pulalah yang menjadi cikal bakal semangat anti korupsi yang terkristalisasi dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-Undang no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemerintahan Presiden Jokowi juga memiliki semangat yang sama untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat nyata sebagaimana dituangkan dalam janji suci Presiden Jokowi yang kita kenal sebagai Nawacita. “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya” dan “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Dua poin penting ini menjadi bentuk komitmen Presiden terpilih Jokowi dalam masa pemerintahannya.
Korupsi ‘memang dan seharusnya’ dipandang sebagai bentuk kejahatan yang merugikan bangsa Indonesia. Tentu saja dalam penerapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, realisasi komitmen dan janji suci pemberantasan korupsi akan banyak kendala dan rintangan yang ada. Hal ini kemudian menjadi awam bagi kita, karena memang yang namanya korupsi akan berkaitan erat dengan kekuasaan dan uang, kekuasaan yang memberikan peluang prilaku koruptif seperti yang disetir Lord Acton, “power tends to corrupt,and absolute power corrupts absolutely”. Korupsi bukanlah perkara yang dapat diselesaikan dengan gampangnya mengingat begitu kompleksnya korupsi yang menggerogoti tubuh bangsa ini. Dalam memahami masalah korupsi di Indonesia, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan yaitu system blame approach dan person blame approach.[2]
System blame approach
Bentuk pendekatan ini memfokuskan permasalahan pada sistem dan melakukan perbaikan sistem untuk menyelesaikan permasalahan. Pendekatan ini melihat aspek-aspek yang berkaitan pada sistem dalam menyelesaikan permasalahan. Misalnya struktur, institusi, fungsi dan kemampuan sistem itu sendiri dalam menghadapi perubahan. Jalan keluar yang ditawarkan oleh pendekatan ini adalah dengan melalui perbaikan sistem.
Perbaikan pada sistem yang justru mendukung terjadinya korupsi harus menjadi sorotan utama. Maka tak perlu heran jika akhir-akhir ini kita sering mendengar banyak orang menggaungkan reformasi birokrasi, mudahnya reformasi birokrasi ini adalah membentuk birokrasi sebagai sebuah sistem yang jauh dari peluang-peluang adanya perilaku korupsi, sehingga sifat transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme merupakan dua kata kunci yang memberi nyawa pada reformasi birokrasi. Grand design reformasi birokrasi hakikatnya telah ada dengan terbitnya Peraturan Presiden no. 81 Tahun 200 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Setidaknya ada lima agenda besar yang menjadi target di sana, yaitu pemerintahan yang bebas dari KKN, SDM yang berintegritas, mengurangi penyalahgunaan kewenangan dalam pelayanan publik, meningkatkan mutu pelayanan publik dan menigkatkan efisiensi dalam pelaksanaan tugas. Tentu saja saat ini capaiannya belum optimal.
Saat ini ada banyak praktek korupsi yang terjadi, kekacauan di negeri ini ditambah lagi dengan obsesi pemerintahan Presiden Jokowi pada bidang ekonomi. Padahal sistem ekonomi manapun tidak akan berhasil diterapkan jika tidak terjadi kestabilan sistem politik dan hukum. Ibarat bangunan, maka ekonomi adalah bagian langit-langit dan atap bangunan, sedangkan hukum dan politik merupakan pondasi sekaligus dinding yang menopang kehidupan bernegara. Tidak akan mungkin tercapai berbagai target ekonomi, jika hukum dan politik tidak dibenahi. Kita menyadari ada kesalahan yang terjadi dalam sistem politik dan sistem hukum di Indonesia, sehingga perlu segera perlu diadakan reformasi terhadap sistem yang ada sekarang.
Pemerintah perlu melakukan revolusi sistem politik dan hukum demi Indonesia untuk 1000 tahun kedepan. Langkah kongkrit yaitu dengan menegakkan integritas dari diri sendiri, dan para pemimpin di Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Tak terkecuali pada jajaran kabinet Presiden. Stabilitas pemerintah harus dijaga untuk terciptanya kepastian hukum dan keadilan hukum di Negeri Indonesia. Hal tersebut berpengaruh pada semua lini sektor di pemerintahan, dan meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Person blame approach
Bentuk pendekatan yang memfokuskan permasalahan pada individu dan melakukan perbaikan pada level individu dalam menyelesaikan permasalah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek yang berkaitan pada individu dalam melihat permasalahan. Seperti faktor fisik, psikis dan proses sosialisasi yang dialami individu di dalam kehidupannya. Jalan keluar yang ditawarkan oleh pendekatan ini adalah dengan melalui perbaikan pada level individu.
Reformasi struktural tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi behavioural. Sistem yang seperti apa yang dapat kita harapkan dari orang-orang yang korup? Revolusi behavioural sangat perlu dilakukan, karena membangkitkan Indonesia tidak cukup hanya dengan 10-20 tahun saja. Perlu generasi muda yang harus disiapkan, maka cara yang paling tepat adalah dengan memecahkan masalah dari akarnya, yakni melalui pendidikan.
Pendidikan memegang peranan penting dalam metode pencegahan korupsi, maka sudah selayaknya pemberantasan korupsi secara komprehensif dimulai dari dunia pendidikan. Tantangan bagi dunia pendidikan saat ini ialah bagaimana membentuk pendidikan berkarakter dengan memfokuskan pada integritas moral.
Pendidikan menjadi penting karena hanya melalui pendidikan akan dihasilkan generasi berikutnya yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa Dengan pendidikan yang berintegritas maka setidaknya kita menjamin generasi mendatang adalah pribadi yang mempunyai integritas tinggi. Untuk menghasilkan itu harus diciptakan classical condition yang sesuai, baik itu pada keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, maupun media. Setiap diri manusia Indonesia harus ditanamkan nilai-nilai kejujuran yang merupakan bagian nyata dari integritas.
Mengadakan pembelajaran anti korupsi pada generasi muda, melakukan pencegahan dengan pendidikan anti korupsi sejak dini. Ibarat hulu sungai yang harus dimulai dengan aliran air yang bersih, demikian pula pendidikan moral dan integritas pada tataran anak-anak. Anak-anak sudah dikenalkan pada berbagai perilaku koruptif yang mungkin saja mereka praktikkan sehari-hari tanpa disadari, dengan demikian pencegahan akan pembiasaan perilaku koruptif dapat dimulai sejak dini dan dari kepribadian mereka masing-masing.
Apa yang Seharusnya?
Pemberantasan korupsi haruslah tetap dilakukan dan diperjuangkan. Selama civil society masih berjalan, masih kritis, dan masih melakukan sesuatu, ‘negara bersih’ bukanlah hal yang mustahil untuk tercipta. Berbicara siapa yang salah akan kondisi Indonesia saat ini bukanlah persoalan utama. Namun, jika harus ada yang bertanggung jawab akan situasi hari ini, tentu saja Presiden dengan segala visi yang dimilikinya, menjadi garda terdepan dan bertanggung jawab sebagai ujung tombak pemerintahan dan kepala negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, meskipun Presiden bukan segala-galanya, tetapi ia adalah sesuatu untuk pemberantasan korupsi yang lebih baik di negeri ini.
Apakah Jokowi memandang dirinya sebagai pribadi yang lemah? Karena yang terlihat saat ini adalah adanya political support yang lebih besar. Di sini Presiden Jokowi harus mau keluar dari zona ketakutannya. Karena melakukan pembiaran dapat berdampak pada political trust yang terus menurun. Walaupun terkadang risiko untuk melanggar ‘etika politik’ itu ada, tetapi sepertinya bukanlah masalah karena Presiden bekerja untuk rakyat Indonesia dan dipilih oleh rakyat Indonesia. Presiden berdiri di atas angin dan tidak terpengaruh akan kepentingan politik menjadi syarat mutlak agar korupsi dan kepentingan politik tidak saling “selingkuh” untuk menggerogoti Ibu Pertiwi. Terakhir, mari sejenak kita berdoa untuk menjadikan negeri ini yang jujur, tidak korupsi sejak dalam hal-hal yang kecil. Pemberantasan korupsi secara menyeluruh menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya KPK, atau lembaga penegak hukum lainnya, namun juga setiap manusia Indonesia untuk memulainya dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga.
Tidak mungkin me-nol-kan korupsi, karena sejak awal lahirnya peradaban manusia, korupsi sudah hadir dengan berbagai variasi. Dalam studi kejahatan sendiri, korupsi bersama-sama dengan prostitusi merupakan kejahatan tertua di dunia yang diperkirakan akan hilang jika dunia sudah kiamat. Namun hal ini tidak berarti mewajarkan eksistensinya, cita-cita pemberantasan korupsi harus terus didukung agar cita-cita negara untuk menghadirkan kehidupan yang lebih sejahtera dan merata dapat terwujud. Pertanyaannya, akankah Nawacita yang mengumandangkan semangat dan komitmen pemberantasan korupsi akan tetap menjadi Nawacita atau justru hanya menjadi Nawacitra ?
* Rilis atas Diskusi Publik “Nawacita dan Pemberantasan Korupsi” bersama Rimawan Pradiptyo[3] dan Ahmad Zakaria [4], 15 Mei 2015
[1] Nawacita Jokowi-JK
[2] Soetomo, Masalah Sosial dan
Upaya Pemecahanya (Yogyakarta: Soetomo, 2008) hlm. 43.
[3] Rimawan Pradiptyo Dosen FEB UGM
[4] Ahmad zakaria pegiat
Pemberantasan Korupsi di Integrity Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar