Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini beragam bencana
alam dapat dikatakan ‘rutin’ terjadi di berbagai belahan dunia, tanpa
terkecuali di Indonesia. Melalui beragam media massa kita dapat mengetahui
beragam bencana alam hampir selalu terjadi setiap hari. Mulai dari banjir,
tanah longsor, kebakaran hutan, kabut asap dan lain sebagainya. Aneka ragam
bencana alam ini tentu menjadi persoalan bagi manusia, tanpa terkecuali bagi
masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai kawasan yang memiliki
beragam sumberdaya alam. Dengan memiliki sumberdaya alam tersebut seharusnya
Indonesia menikmati beragam keuntungan, namun yang terjadi justeru sebaliknya
untuk kepentingan ekonomi dan investasi, hutan dikonversi, kawasan/lahan gambut dibakar untuk perluasan perkebunan akibatnya kerugian besar secara
sosial, ekonomi, lingkungan biodiversity, bahkan bencana bagi kesehatan dan kematian.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Araaf :56)
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS As Syuaraa : 183)
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (QS Al Baqarah: 12)
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Araaf :56)
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS As Syuaraa : 183)
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (QS Al Baqarah: 12)
Sebagai sebuah kajian ilmu pengetahuan, sosiologi dituntut
untuk mampu menganalisis dan memahami persoalan-persoalan yang dihadapi manusia
dalam kehidupannya. Meskipun demikian, persoalan lingkungan (environment)
merupakan aspek yang dapat dikatakan terlambat menjadi bagian dari objek kajian
(the subject matter) oleh sosiologi dibandingkan yang lainnya. Beberapa pakar
menilai bahwa ‘keterlambatan’ perhatian sosiologi terhadap persoalan lingkungan
ini karena ‘kungkungan dan kekangan’ defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh
para ahli dan dijadikan acuan oleh banyak kalangan dalam melakukan kajian.
Beragam defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beragam ahli selama ini
memperlihatkan bahwa ilmu ini ‘hanya’ mengkaji hubungan antar manusia tanpa
memasukkan unsur lingkungan. Kenyataan ini dapat dimengerti karena sosiologi
hadir dan dirumuskan di saat perspektif antroposentrisme (manusia sebagai pusat
atau penentu alam) masih sangat dominan.
Perluasan perspektif sosiologi dari antroposentrisme menjadi
ekosentrisme (lingkungan atau alam sebagai pusat kajian) baru mengemuka pada
tahun 1978 yang dilakukan oleh Riley Dunlap dan William Catton dalam jurnalnya
yang berjudul “ Environmental Sosiology : A New Paradigm” dalam buku “The
American Sosiologist, 1978, Vol 13 (February) 41-49”.
Dimana praktek sosiologi untuk masa yang akan datang harus melihat hubungan antara manusia/ masyarakat
dan lingkungan biofisik, di jurnal ini dibahas anjuran untuk suatu paradigma
baru bagi hubungan antara manusia/ masyarakat dengan lingkungannya sehingga
disiplin ilmu ini tidak lagi mengabaikan hubungan masyarakat dengan lingkungan
biofisiknya.
Sosiologi Lingkungan
Sosiologi lingkungan (environment sociology) didefenisikan
sebagai cabang sosiologi yang memusatkan kajiannya pada adanya keterkaitan
antara lingkungan dan perilaku sosial manusia. Menurut Dunlop dan Catton, sebagaimana
dikutip Rachmad, sosiologi lingkungan dibangun dari beberapa konsep yang saling
berkaitan, yaitu:
1.
Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional
untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari pandangan
dunia yang gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan
sosial.
2. Masyarakat
modern tidak berkelanjutan (unsustainable) karena mereka hidup pada sumberdaya
yang sangat terbatas dan penggunaan di atas pelayanan ekosistem jauh lebih
cepat jika dibandingkan kemampuan ekosistem memperbaharui dirinya. Dan dalam
tataran global, proses ini diperparah lagi dengan pertumbuhan populasi yang
pesat.
3. Masyarakat
menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhadapan dengan kondisi yang
rentan ekologis.
4. Ilmu lingkungan
modern telah mendokumentasikan kepelikan persoalan lingkungan tersebut dan
menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian besar-besaran jika krisis lingkungan
ingin dihindari.
5. Pengenalan
dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada ‘pergeseran paradigma’
dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam sosiologi berupa
penolakan terhadap pandangan dunia Barat yang dominan dan penerimaan sebuah
paradigma ekologi baru.
6. Perbaikan dan
reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui perluasan paradigma ekologi baru
di antara publik, massa dan akan dipercepat oleh pergeseran paradigma yang
dapat dibandingkan antara ilmuan sosial dan ilmuan alam.
Ilmuan sosial mengabaikan konsep daya dukung, namun dengan
mengabaikan konsep ini sama saja berasumsi bahwa daya dukung lingkungan
selalu enlargeable dengan yang kita butuhkan, Dengan demikian sosiologist telah
menolak kemungkinan kelangkaan. Meskipun tidak menyangkal bahwa manusia adalah
spesies yang luar biasa, para ilmuan sosiologi lingkungan berpendapat bahwa
keterampilan khusus dan kemampuan tetap gagal untuk membebaskan masyarakat dari
batasan-batasan lingkungan alam.
Dalam tahapan hubungan manusia dan lingkungan, ditunjukan
bahwa seluruh aspek budaya, perilaku
bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan dan tunduk pada lingkungan. Dalam
kehidupan berkelompok, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa bentuk-bentuk persekutuan
hidup manusia muncul sebagai akibat dari interaksi iklim, geografi dan ekonomi.
Ketiga bagian dari lingkungan itu juga bersifat sangat menentukan corak
temperamen manusia (Ibnu Khaldun dalam Madjid Fakrhy, 2001:126).
Sementara itu, Donald L. Hardisty yang mendukung dominasi lingkungan menyatakan lingkugan fisik memainkan peran dominan sebagai pembentuk kepribadian, moral, budaya, politik dan agama, pandangan ini muncul tidak lepas dari asumsi dalam tubuh manusia ada tiga komponen dasar, yakni bumi, air, dan tanah yang merupakan unsur-unsur penting lingkungan. Untuk memperjelas tentang dominasi lingkungan kita bisa mejelaskan mengapa ada perbedaan antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Lingkungan fisik desa didominasi dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan lingkungan biologis( seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan). Lingkungan biologi ini memiliki hukum keteraturan tertentu yang bersifat evolutif dan cenderung jauh dari intervensi manusia.
Berbeda dengan lingkungan desa, masyarakat kota lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan buatan (ada yang menyebutnya dengan istilah lingkungan binaan). Lingkungan buatan adalah lingkungan yang sudah tidak alamiah karena sudah ada intervensi manusia dalam menciptakan model atau bentuk lingkungan. Lingkungan kota memiliki hukum-hukum sendiri yang tidak sama dengan desa dan hukum-hukum tersendiri tersebut bergerak secara independen yang memiliki kekuatan memaksa individu penghuni kota untuk tunduk. Demikianlah, lingkungan kota yang serba menantang sangat memengaruhi dalam pembentukan watak, budaya, bahkan etos yang dimiliki manusia. Maka, tampaklah perbedaan tajam antara etos masyarakat desa dengan masyarakat kota.
REFERENSI EBOOK untuk anda
The International Handbook
of Environmental Sociology
Michael Redclift and Graham Woodgate ed.
Format PDF 34.1
Klik cover ebook untuk mengetahui daftar isi
EBook Kajian Sosiologi Lingkungan lainnya klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar