Comte menganalogikan
masyarakat layaknya organ tubuh manusia. Tidak heran, karena filsafatnya masih
terpengaruh oleh aliran biologis/naturalisme. Dia terkenal dengan hukum tiga
tahap perkembangan masyarakat: teologis, metafisik, positif. Hukum ini ia
sebutkan dalam karyanya “Course of
Positive Philosophy” yang ia buat sebanyak 6 jilid dari tahun
1830 sampai dengan 1842. Konsepsi dalam buku ini didasari akan
kekhawatiran akan kacaunya masyarakat sehingga mereka membutuhkan suatu
metode untuk mencapai keteraturan sosial. Comte menemukan itu ada dalam
gejala-gejala ilmu pengetahuan dan kaitan antara semua ilmu tersebut. Buku ini menjadi dasar bagi aliran positivisme.
Karya monumentalnya yang berikutnya adalah “System of Positive Politics” yang menjelaskan tentang agama humanitas. Latar belakang pembuatan karya besar keduanya itu dipengaruhi oleh pujaan hatinya Clothilde de Vaux yang sangat membekas dalam jiwanya. Menariknya kedua karyanya tersebut seperti sebuah seri dari pemikiran Comte. Dalam Course, Comte mengatakan sains bertransformasi menjadi filsafat; sedangkan dalam System, filsafat bertransformasi menjadi agama.
Buku dengan judul asli Cours de
Philosophie Positive (Pelajaran Filsafat Positif) adalah garapan dari
karyanya sebelumnya yaitu Systeme de philosophie positive (1824) (Sistem
filsafat positif). Course memuat dua tujuan, yaitu fondasi untuk
sosiologi (yang ia sebut fisika sosial) dan koordinasi semua ilmu positif.
Dalam tiga volume awal, ia menjelaskan lima ilmu sains yang fundamental
(matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi) dan tiga volume berikutnya
adalah ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam telah ada pada waktu itu dan Comte hanya meringkas
poin-poin dari doktrin dan metodologi utama mereka dengan membangunnya lewat
analisa objektif dan historis.
Awal mula positivisme yang
dikembangkan Comte adalah kesadarannya akan Revolusi Perancis yang menurutnya
adalah krisis yang cenderung ke arah reorganisasi masyarakat secara
besar-besaran. Ia menyatakan bahwa reorganisasi itu hanya berhasil, masyarakat
yang adil akan tercipta, jika orang mengembangkan metode berpikir yang baru
tentang masyarakat. Comte melihatnya dalam sains dan mencoba mensistematisasikan
metode itu. Lahirlah metode positif yang sesuai hukum-hukum ilmu alam:
diarahkan pada fakta-fakta, pada hal yang berguna, ke arah kepastian, dan
kecermatan. Sarana bantu bagi sains seperti observasi, eksperimen, dan
perbandingan ditambah dengan metode historis yang ditujukan untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan di masyarakat.
Comte memberikan analisis
komprehensif tentang kesatuan filosofis dan metodologis yang jadi dasar ilmu
alam dan sosial dalam Course. Dalam bukunya itu, Comte memperlihatkan
bahwa evolusi filosofis yang dialami matematika, geometri, astronomi, fisika,
kimia, biologi dan fisika sosial (sosiologi) adalah melewati tahapan
perkembangan yang sistematis. Ia menjelaskan urutan gejala-gejala (statika) dan
kaitan organis gejala-gejala (dinamika) ilmu-ilmu tersebut. Dalam ilmu alam,
aspek statis dan dinamis yang berkaitan dengan objek yang mati dinamakan tetap
dan gerak, sedangkan yang berkaitan dengan objek yang hidup dinamakan anatomi
dan fisiologi. Dalam ilmu sosial yang mengambil objek gejala-gejala masyarakat,
aspek-aspek tadi berhubungan dengan tata (keteraturan) dan kemajuan. Tata
merupakan dasar dan hasil kemajuan, dan kemajuan hanyalah mungkin atas dasar
tata. Jadi hukum-hukum yang harus ditemukan dengan pertolongan metode positif
dapat dibagi dalam dua kelas, yaitu hukum-hukum mengenai urutan gejala-gejala
sosial dan hukum-hukum mengenai kaitan gejala-gejala itu.[1]
Comte menjelaskan urutan
gejala-gejala sosial dinyatakan dalam tiga tahap. Tahapan yang dibuat
menunjukkan cara berpikir masyarakat pada saat itu. Titik awalnya adalah
tahapan teologis dimana pikiran manusia saat itu dalam pencarian akan asal dan
sebab akhir segala sesuatu, manusia mencari hal-hal itu dalam kekuatan-kekuatan
alam dan benda-benda angkasa yang ia anggap punya kekuatan. Pada tahapan
berikutnya, tahap metafisik, keterkaitan dengan sesuatu yang supranatural
digantikan dengan entitas yang abstrak. Manusia mengalihkan perhatiannya pada
kecintaan akan tanah air, pembelaan terhadap bangsa atau nasionalisme, dan
sebagainya. Tahap ini adalah tahap kritis pemikiran teologis dan persiapan
menuju stadium positif. Pada tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai
puncak ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari
pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan statis dan
dinamis gejala-gejala.
Dalam kaitan antara gejala-gejala
sosial, Comte menyebutkan meskipun cara pandang zaman prapositif lebih rendah
daripada di zaman positif, namun cara berpikir di zaman terdahulu ini memberi
sumbangan bernilai berupa konsensus atas seperangkat pandangan dan kepercayaan
bersama yang penting bagi keteraturan sosial. Tahap positif tidak mungkin ada
tanpa adanya tahap teologis yang mendahuluinya dan tahap metafisik yang
menjembataninya. Benih-benih menuju tahapan berikutnya selalu ada, seperti pada
masa fetisisme timbul pemikiran untuk beralih dari cara hidup yang
berpindah-pindah menjadi menetap sebagai hasil usaha menjelaskan gejala dengan
takhayul primitif. Masa itu digantikan dengan masa politeistik dimana manusia
mulai menganggap adanya suatu kekuatan di luar dirinya dan menjadi monoteistik
saat manusia mulai mengenal tuhan. Tapi sistem kepercayaan seperti itu
mendorong manusia untuk mudah memisahkan kehidupan rohani dan duniawi sehingga
kehidupannya diarahkan pada kekuatan lain yang sifatnya abstrak. Saat ilmu
pengetahuan berkembang sebagai hasil kesempurnaan akal manusia, teknologi
diciptakan dan manusia menuju tahap dimana kekuatan itu diarahkan pada
benda-benda atau materi. Industri menjadi tipe organisasi sosial di era
positif. Sedangkan tipe keteraturan sosial di tahap teologis mencerminkan tipe
organisasi sosial yang militer. Di tahap metafisik, dominan dengan hukum karena
masyarakat saat itu didominasi oleh mereka yang berusaha menarik doktrin sosial
politik dari pemahaman tentang hukum alam.
Pandangannya ini sempat dipuja oleh John Stuart
Mill di Inggris. Bahkan ia terang-terangan menyatakan diri sebagai pengikutnya
dan menjadi penyebar paham positivisme yang giat. Tapi kekecewaan mendalam
harus ditelannya begitu Comte mengeluarkan buku fenomenalnya yang kedua, System
of Positive Politics. Banyak yang menganggap Comte sudah gila karena cinta
karena dalam bukunya tersebut, ia menyatakan pentingnya suatu agama di zaman
positif (yang seharusnya ada dalam tahap teologis). Comte menyebutnya dengan
“agama humanitas”. Ini adalah perubahan mendasar dalam karya Comte, ia berbalik
dari seorang positivis menjadi seorang yang humanis. Kritik yang dilontarkan
padanya pun berdatangan dari kaum positivis,
termasuk dari Mill yang menganggap
Comte dengan Course-nya adalah “Comte yang baik”, sedangkan Comte dengan
System-nya adalah “Comte yang buruk”.
Dalam bukunya ini, akal yang semula
diagungkannya seakan dimerosotkan di bawah apa yang kita sebut cinta. Memang
pada waktu menulis System, ia sedang dimabuk cinta atau bahkan bisa
disebut mengalami cinta sejati sepanjang hidupnya. Ia mempersembahkan buku ini
untuk mengenang istri yang tidak pernah digaulinya, yaitu Clothilde de Vaux.
Kekuatan emosi begitu kentara dalam karyanya yang satu ini. Comte seakan lebih
mengagungkan perasaan daripada akal budi dalam mempertahankan tata keteraturan
sosial yang ia kemukakan dahulu.
Bagi Comte, karyanya ini adalah
realisasi dari metode positif yang ditujukan untuk keteraturan sosial dalam
bukunya yang pertama. Jika kita ingat metode positif yang juga memakai metode
historis untuk mengamati masyarakat, Comte melihat bahwa agama telah menjadi
tonggak keteraturan sosial yang utama di masa lampau. Agama merupakan dasar
untuk konsensus universal dalam masyarakat dan juga mendorong identifikasi
emosional individu dan meningkatkan altruisme.[2] Namun bukan agama tradisional
seperti yang dipahami pada masa teologis yang dimaksud Comte. Ia menciptakan
suatu agama baru yang mencakup hukum-hukum universal yang memungkinkan
keteraturan sosial itu eksis, yaitu agama humanitas. Sumber utama agama
humanitas adalah moralitas dan cinta yang sesuai dengan standar-standar
intelektual dan persyaratan positivisme. Runtuhnya tatanan sosial tradisional
yang mengarah pada anarki akibat Revolusi Perancis, menyebabkan Comte melihat
moral sebagai sesuatu yang harus menundukkan ilmu sehingga reorganisasi
masyarakat menjadi sempurna.
Bertolak dari gagasan pikiran adalah
hamba bagi hati, Comte melihat dalam biologi tabel otak manusia terdiri dari 18
fungsi internal, yaitu 10 kekuatan afektif, 5 fungsi intelektual, dan 3 sifat
praktis. Dari sini tampak dominannya hati dalam meningkatkan energi dan
menurunkan harga diri. Bagi Comte yang positivis, ini bukan psikologi, tapi
semata-mata biologi. Moral menjadi suatu kekuatan yang dominan dan Comte
melihatnya dalam agama. Agama memiliki 2 fungsi: fungsi moral, agama
seharusnya mengatur setiap individu; dan fungsi politik, agama seharusnya
menyatukan semua individu. Agama juga memiliki tiga komponen, sesuai
dengan pembagian tabel otak, yaitu doktrin, ibadah, dan hukum moral
(disiplin). “Cinta datang dan membawa kita pada iman, sepanjang
pertumbuhan itu bersifat spontan; tapi begitu tersistematisasi, keyakinanlah
yang membangun tindakan cinta”, kata Comte.
Karyanya ini kurang diterima secara luas. Dalam Course, kita akan menemukan dasar-dasar
dari positivisme yang berkembang hingga sekarang. Course sangat meninggikan akal sebagai tahapan akhir perkembangan
manusia. Perkembangan masyarakat dari semenjak ketergantungannya akan
supranatural, alam metafisik, dan berlanjut kepada alam pikiran positif dijelaskan
dalam Course sebagai suatu fase yang
pasti. Namun, gagasan Comte yang optimistis ini seakan ditafsirkan kembali
dalam System bahwa yang diinginkan
adalah reorganisasi masyarakat atas dasar humanitas. Comte, terlepas dari
perkembangan jiwanya setelah ditinggal mati Clothilde, telah mengubah
pandangannya menjadi moralistik dan penuh gairah cinta. Baginya,
reorganisasi masyarakat baru sempurna jika dibangun atas cinta dan moralitas
dalam agama
yang ia sebut agama humanitas. Setinggi apapun akal manusia, tetap tidak akan
bisa mengalahkan moralitas yang menyatukan mereka. Comte melihat ini lewat
sejarah agama zaman dahulu. Dengan menyingkirkan sifat tradisionalnya dan fokus
pada faktor-faktor dari agama yang menyatukan masyarakat, Comte tetap
menghendaki positivisme sebagai wujud akhir masyarakat yang teratur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar