Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat
dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal
seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha
menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial.
Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu orang pertama yang
menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu
kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai
fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial".
Istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya "De la division du travail social" (The Division of Labor in
Society) /Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893),
Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk
masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti
bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand
Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup,
bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang
mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan
ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang
mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia
berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan
dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional,
kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual –
norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian
kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi
yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan
ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi
dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang
‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada
dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam
masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus
mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan
makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian
kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran
individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif –
seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu
masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa
masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat
represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman,
dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu;
hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat
restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan
aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin
meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan
semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang
akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku.
Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk
perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie
dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya Le Suicide: étude de sociologie" (Suicide : A Study in Sociology) ini,
ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan
Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang
Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim,
orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka,
yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal
tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat
yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan
masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri
sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh
diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim,
masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara
masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi
para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis
yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat
'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Les Formes élémentaires de la vie religieuse" (The Elementary
Forms of the Religious Life) "Bentuk-bentuk
Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi
Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti
peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia
dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis'
(meminjam ungkapan Durkheim)
Durkheim
juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara
profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya
untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat
sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik
pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis
semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi
(keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia
mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai
sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim
berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
Memperkuat
solidaritas sosial
Sejarah:
belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang
membuat seorang individu merasa tidak berarti.
Menyatakan
kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian
akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
Mempertahankan
peranan sosial
Sekolah
adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan,
tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda
untuk memenuhi berbagai peranan.
Mempertahankan
pembagian kerja.
Membagi-bagi
siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari
pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar